Latar
Belakang Perang Candu
Selama ratusan tahun,
Orang-orang Cina tidak berhubungan dengan kegiatan ekonomi dunia lain. Meskipun
demikian, banyak pedagang Eropa sangat ingin berdagang di Cina. Wilayah Cina
saat itu terkenal sebagai produsen sutera, rempah-rempah, teh, dan porselan
berkualitas. Komoditi tersebut sangat populer di Eropa. Namun, pemerintah Cina
di bawah Dinasti Qing hanya mengizinkan perdagangan dilaksanakan di satu
pelabuhan, yakni di Guangzhou (Kanton).
Di sisi lain,
pengembangan East India Company oleh
Inggris berarti menjadikan candu dalam jumlah besar yang diproduksi di Bengali,
India membutuhkan pasar baru. Untuk menyiasati kebijakan pemerintah Cina,
pedagang Inggris mulai merencakan strategi agar Cina mau membuka perdagangan
dengan mereka.
Para pedagang asing
mulai menyelendupkan candu ke negara Cina, sehingga penduduk Cina terpaksa
menjual barang-barang berharga mereka untuk ditukar dengan candu. Bangsa Cina
sendiri sebenarnya telah mengenal candu sejak abad ke-15, namun Dinasti Qing
melarang penghisapan candu pada tahun 1729, karena efeknya yang merusak.
Perdagangan candu
sebelumnya dipelopori oleh bangsa India di bawah daulah Mughal, di mana
perdagangan candu ilegal melalui Cina Selatan mendatangkan keuntungan besar.
Ketika Inggris menguasai India, mereka melihat perdagangan candu sebagai
peluang emas untuk memperbesar devisa.
Penyelundupan candu ke
Cina meningkat pesat pada abad ke-18. Pada tahun 1730, 15 ton candu
diselendupkan dan pada tahun 1773 mengalami peningkatan menjadi 75 ton.
Candu-candu diselundupkan melalui laut dalam ribuan peti, yang masing-masing
memuat sekitar 64 kilogram.
Membanjirnya candu di
cina melemahkan rakyat Cina, jumlah pencandu mengalami peningkatan. Puncaknya
ketika seorang pangeran menjadi pecandu, hal ini membuka mata Kaisar Daoguang
akan bahaya terlarang ini. Pelarangan candu pun kembali ditegaskan pada tahun
1799, dan pada tahun 1810 dikeluarkan lah titah pelarangan dari kaisar.
Meskipun
demikian, letak pusat pemerintahan yag terlalu jauh di sebelah utara,
menyebabkan kerajaan tidak sanggup mengendalikan para pedagang dan pejabat
korup yang menyelundupkan candu lewat Cina Selatan. Minimnya tindakan
pemerintah menyebabkan penyelundupan candu terus mengalami peningkatan. Tercatat
pada tahun 1820-an, penyelundupan candu meningkat drastis mencapai 900 ton per
tahun.
Untuk mengatasi kondisi memprihatinkan
masyarakat, pada tahun 1838 pemerintah Cina menjatuhkan hukuman mati bagi para
penyelundup candu lokal. Penyelundupan saat itu telah mencapai angka 1.400 ton.
Pada bulan Maret tahun 1839, Kaisar mengangkat
pejabat bernama Lin-Zexu untuk mengatasi penyelundupan candu di Kanton dengan
kekuasaan penuh. Komisioner Tinggi Cina di Goungzhou, Lin Zexu segera
mendatangi gudang penyimpanan candu Inggris. Lin meminta pihak Inggris
agar menyerahkan candu di tempat tersebut.
Namun, Charles Elliot, kepala perdagangan
Inggris, menolak tuntutan ini. Akibatnya, Lin mengepung gudang tempat
penyimpanan candu, yang di dalamnya terdapat 300 pekerja. Pengepungan
berlangsung selama 40 hari, para pekerja baru menyerah setelah menderita
kelaparan.
Selanjutnya, candu sebanyak 22.291 peti
ditenggelamkan ke laut. Lin juga memaksa Inggris agar menanda-tangani
perjanjian untuk tidak menyelundupkan candu lagi. Pada bulan Mei 1839, seluruh
pejabat East India Company dipaksa meninggalkan Kanton.
Inggris menganggap tindakan pemerintah
Cina sebagai penyitaan properti milik pribadi dan tidak dapat dibenarkan. Maka,
Inggris mengirim kapal-kapal perang untuk mengancam pemerintah Cina dan
mengepung pelabuhan.
Cina menolak membayar kompensasi, dan tetap
melarang perdagangan dengan bangsa Inggris. Pada bulan November 1839, kapal
perang Cina tanpa pernyataan perang ditembaki oleh kapal perang Inggris yang
dikirim dari India. Akibatnya, Perang Candu I (1839-1842) antara Cina dan
Inggris pun dimulai.
Perang Candu I dan Perjanjian Nanjing (1839-1842)
Perang Candu I sebagaian besar berlangsung di
pantai dan di laut. Pada perang tersebut kapal-kapal Inggris yang notabene
lebih modern dari kapal-kapal Cina, membombardir pantai tenggara Cina.
Keunggulan
persenjataan membuat armada Inggris dengan mudah menguasai kota-kota pelabuhan
Xianggang (Hongkong), Kanton, Xiamen, Ningbo, Fuzho dan Shanghai. Bahkan, pada
bulan Agustus 1842, dengan kekuatan 80 kapal perang, mereka maju menuju
Nanjing.
Di tengah kondisi Cina
yang semakin terdesak. Kaisar Daoguang tidak menemukan jalan yang lebih baik
selain menyerah kepada pihak Inggris. Pemerintah Cina dipaksa menyetujui
Perjanjian Nanjing, yang banyak merugikan mereka.
Berikut point-point
penting dari perjanjian Nanjing:
1. Cina menyewakan
Xianggang (Hongkong) pada Inggris.
2. Pelabuhan-pelabuhan
Kanton, Xiamen, Ningbo, Fuzhou, dan Shanghai harus dibuka bagi perdagangan
dengan pihak Inggris.
3. Cina diwajibkan
membayar kerugian perang sebesar 21 juta mata uang perak.
4. Memberikan hak
istimewa bagi Inggris, serta membuka daerah khusus (ekstrateritorial) sebagai
tempat tinggal warga Inggris.
5. Hubungan antara
pejabat-pejabat Cina dan Inggris harus berdasarkan asas sama rata.
6. Inggris berhak
mengangkat konsul di tiap-tiap pelabuhan yang dibuka bagi aktivitas perdagangan
mereka.
Perjanjian yang
ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1842, sama sekali tidak menyelesaikan
masalah penyelundupan candu. Penyelundupan masih berlangsung, meskipun secara
resmi tetap dilarang.
Setelah perjanjian
Nanjing tercetus, Amerika Serikat juga menuntut hak yang sama dengan Inggris.
Amerika mengirimkan utusan bernama Caleb Cushing untuk merundingkan hal itu
dengan pemerintah Cina. Usaha Cushing berhasil, Cina dan Amerika menyepakati
perjanjian bilateral pada tahun 1844. Perjanjian tersebut membuat Amerika
mendapatkan pula seluruh hak istimewa yang didapatkan Inggris.
Di dalam perjanjian
bilateral ini, hakim-hakim Cina tidak memiliki wewenang untuk mengadili warga
Amerika yang melakukan pelanggaran hukum dan harus menyerahkannya pada
pengadilan konsulat Amerika.
Selain Amerika,
Prancis juga menyusul mendakan perjanjian bilateral dengan Cina pada tahun yang
sama guna memperoleh hak-hak istimewa. Sebagai hasilnya, Cina mengizinkan
penyebaran agama Katolik dan mengembalikan hak milik gereja yang telah dilarang
seabad sebelumnya.
Perang Candu II (1856-1860 M)
Perang Candu II dapat
dianggap sebagai kelanjutan dari ambisi imperialisme Eropa di Cina. Pihak Eropa
yang telah mendapatkan hak-hak dagang khusus di Cina, masih berambisi untuk
memperluas kekuasaannya.
Pihak Inggris ingin
memperkuat pengaruhnya di Cina dengan memaksa Dinasti Qing memperluas wilayah
perjanjian Nanjing. Pada tahun 1854, mereka menuntut seluruh Cina dijadikan
wilayah dagang terbuka bagi East India Company, perdagangan
candu dilegalkan, dan diperbolehkannya duta besar Inggris ditempatkan di
Beijing.
Tuntutan serupa juga
datang dari Amerika Serikat dan Prancis. Akan tetapi, pemerintah Dinasti Qing
menolak semua tuntutan tersebut, sehingga hubungan Cina dan Barat menjadi
memanas.
Meskipun demikian,
Perang Candu II secara khusus dipicu oleh tindakan pejabat Dinasti Qing yang
menghentikan kapal bernama Arrow, kapal Cina
yag telah diregistrasi di Hongkong (kapal tersebut dikapteni orang Inggris dan
seluruh awaknya merupakan warga Cina). Telah menjadi kebiasaan, jika
kapalTiongkok hendak menyelundupkan sesuatu, mereka meregistrasikan terlebih
dulu kapalnya di Hongkong, sehingga dapat berlayar di bawah bendera Inggris dan
terhindar dari jeratan hukum Cina.
Pada tanggal 8 Oktober
1856 kapal tersebut berlabuh di Kanton. Pada pagi harinya, mereka dihentikan
oleh 4 pejabat dan 60 pasukan bersenjata. Mereka mencurigai Arrow hendak
menyelundupkan sesuatu ke wilayah Cina.
Kapten kapal
mendatangi konsulat Inggris untuk melaporkan penahanan yang dilakukan pejabat
Cina. Konsul Inggris, Harry Parkes, segera meresponnya dengan mendatangi
pejabat Cina yang melakukan penahanan serta memprotes tindakan mreka.
Meskipun telah diprotes,
12 orang di antara awak kapal itu tetap ditahan karena dianggap melakukan
tindak kriminal penyelundupan. Pihak Inggris ngotot, bahwa kapal itu telah
diregistrasi di Hongkong, oleh karena itu hukum khusus berlaku terhadap mereka,
dan meminta agar kapal dan awaknya dibebaskan.
Pihak Cina menolak
permintaan Parker, karena gagal membebaskan para awak Konsul Inggris kembali ke
kantornya dan menyurati Gubernur Ye Mingchen. Ia membuat tuduhan bahwa para
pejabat Cina telah menghina bendera Inggris. Selain itu, ia juga menuduh pihak
Cina telah melanggar perjanjian ekstrateritorial dengan Inggris.
Parker juga
mengirimkan surat kepada Gubernur Sir John Bowring dan Admiral Sir Michael
Seymour di Hongkong, meminta Inggris menuntut permintaan maaf Cina. Mungkin Parker
melihat peristiwa ini sebagai salah satu kesempatan untuk memperluas
imperialisme Inggris di Cina.
Dari hasil
penyelidikan pejabat Cina yang berwenang mendapati bahwa sembilan di antara dua
belas orang yang ditangkap tidak bersalah. Gubernur Ye dengan tenang dan sopan
menjawab tuntutan sepihak Inggris. Dijelaskannya alasan penangkapan serta
penyesalan terhadap kesalah-pahaman yang terjadi.
Ia juga mengatakan
tidak ada sedikit pun keinginan untuk menghina bendera Inggris. Gubernur Ye
lalu menawarkan untuk menyerahkan 12 orang yang di tahan itu pada tanggal 12
Oktober 1856.
Akan tetapi, Parker
menolak tawaran tersebut meskipun pihak Cina telah menyampaikan rasa
penyesalan. Ia tetap bersikeras agar Gubernur Ye mengeluarkan permintaan maaf
secara tertulis serta pembebasan awak kapal yang tidak bersalah dengan segera.
Ye merespon
kesombongan pihak Inggris dengan menyatakan bahwa hukum ekstrateritorial hanya
berlaku bagi kapal Inggris, sedangkan Arrow adalah
kapal Tiongkok. Ia juga mempertanyakan kewenangan pihak Inggris untuk ikut
campur urusan penangkapan warga negara Cina oleh pejabat berwenangan Cina,
apalagi saat itu kapal juga berada di perairan Cina. Gubernur menyimpulkan
insiden tersebut bukan lah merupakan pelanggaran perjanjian apa pun.
Pihak Inggris menolak
penjelasan pihak Cina di aas, meskipun bukti-bukti dan saksi menguatkan
pembelaan Ye. Mereka tetap ngotot bahwa kapal itu tetap kapal Inggris dan warga
negara mana pun yang berada di atas kapal Inggris berada di bawah naungan hukum
Inggris.
Polemik ini terus
berlanjut hingga tanggal 21 Oktober 1856, di mana sekali lagi Parker menuntut
permintaan maf Cina. Keesokan harinya, Gubernur Ye mengirim para tahanan itu ke
konsulat Inggris, termasuk yang terbukti bersalah melakukan penyelundupan,
namun pihak Inggris menanggapi dingin usaha tersebut. Gubernur Ye tetap
bersikeras tidak perlu mengeluarkan permintaan maaf, karena tidak ada
pelanggaran yang dilakukan.
Setelah Cina tidak
kunjung meminta maaf, arogansi Inggris pun semakin menjadi. Mereka mengerahkan
angkatan perangnya pada tahun 1857 untuk menggempur Kanton. Prancis ikut
bergabung dengan Inggris setelah hukuman mati yang dijatuhkan terhadap seorang
misionaris Prancis bernama August Chapdelaine.
Kanton berhasil
dirbeut dan mereka bergerak menuju Beijing. Sementara itu, Kaisar Xianfeng
(1851-1860) yang ketakutan melarikan diri ke Jehol. Perang Candu II baru
berakhir setelah pihak Cina bersedia menandatangani Perjanjian Tianjin pada
bulan Juni 1858. Berikut isi dari perjanjian Tianjin:
1. Inggris, Prancis,
Amerika, dan Rusia diizinkan membuka kedutaan di Beijing, yang saat itu merupakan
kota tertutup bagi orang asing.
2. Sepuluh pelabuhan baru
dibuka bagi bangsa Barat, termasuk Danshui, Hankou, Niuzhuang, dan Nanjing.
3. Pemberian izin
kunjungan orang asing ke pedalaman Cina, baik untuk urusan dagang atau kegiatan
misionaris.
4. Cina harus membayar
kerugian perang sebesar 4 juta tail perak pada Inggris dan 2 jut apada Prancis.
5. Pelarangan menyebut
bangsa Barat sebagai yi (barbar).
Walaupun perjanjian
telah ditandatangani, kerajaan tetap tidak mengizinkan pendirian kedutaan di
Beijing. Oleh karena itu, pada tahun 1860, kekuatan gabungan Inggris dan
Prancis kembali melancarkan serangan, dan berhasil menaklukan Beijing
pada tanggal 6 Oktober 1860.
Kaisar Xiangfeng
kembali melarikan diri ke istananya di Chengde, di mana sebelumnya ia telah memerintahkan
Pangerang Gong untuk bernegosiasi dengan bangsa Barat.
Di saat yang
bersamaan, bangsa Barat membakar istana kekaisaran dan menjarahnya. Untuk
meredam kekejaman bangsa Barat, pangerang Gong menyampaikan kembali kesediaan
Dinasti Qing untuk menjalankan seluruh isi perjanjian Tianjin dalam wujud
Konvensi Beijing yang diratifikasi pada tanggal 18 Oktober 1860. Adapun isi
dari ratifikasi adalah sebagai berikut:
1. Cina mengakui kembali
Perjanjian Tianjin.
2. Menjadikan Tianjin
sebagai pelabuhan terbuka.
3. Kerugian yang harus
diganti Cina kepada Inggris dan Prancis ditingkatkan menjadi 8 juta nail perak.
4. Perdagangan candu
dilegalkan.
Dengan keluarnya
ratifikasi ini sekaligus mengakhiri sepenuhnya Perang Candu dan menjadikan
candu sebagai barang yang legal di dataran Cina.