Neuralink - Apakah Antarmuka Otak-Komputer Membawa Kita Ke Dalam Utopia Teknologi?

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Nilai Pasar Nvidia, AI Kesayangan, Melonjak Mendekati Apple

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

PREVIEW PERTANDINGAN: MAN CITY V UNITED WOMEN

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Apakah BRICS yang Diperluas Akhirnya Melengserkan Dolar dengan Bantuan Kripto?

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

APAKAH YESUS TUHAN? Mari Kita Cari Tahu!

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, 24 November 2014

NEGERI HORALE - NAKANE


   Negeri Adat Suku Wemale Patalima di Seram Utara
  
       a.    Peristiwa Konflik
Konflik 19 Januari 1999 tidak berdampak di negeri Horale dengan negeri-negeri tetangganya, namun tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang dapat menimbulkan konflik dengan negeri tetangga, tapi bisa diatasi dengan kearifan lokal pemerintah yang ada pada saat itu dengan pendekatan kekeluargaan / musyawarah. Dibawah ini beberapa peristiwa konflik yang terjadi antar masyarakat negeri Horale dengan Saleman.
·         Pada tahun 1983 permasalahannya adalah Muhamad Nur kerja bapak Ed punya tanah dalam kerja itu diusahakan kayu tapi mereka tidak memberikan maano kepada bapak Ed sehingga beliau menahan kayu-kayu tersebut. Dia marah tidak setuju atas tindakan yang dilakukan bapak Ed karena kayu tersebut sudah ada pembeli yang akan mengambil kayu tersebut, lalu dia mengambil tindakan terhadap bapak Ed, dari Saleman dia sudah keluarkan kata-kata yang kurang enak seakan-akan mau cari masalah terkait dengan kayu tersebut. Dia datang ke Saka dengan Usman mama nyai, Sam Haloatuan dan singgah dirumah bapak Ti punya rumah untuk minum sopi, bapak Opi masuk kedalam rumah lalu memukul Muhamad Nur dan diikuti oleh beberapa pemuda yang masuk kemudian memukul dia juga. Setelah dipukul kemudian mereka melarikan diri kembali ke Saleman, kebetulan jarinya Usman luka kena parang dan dia melabor darah tersebut dimukanya lalu dia lapor ke Saleman bahwa orang Horale potong dia. Selanjutnya masyarakat Saleman menyerang ke Horale pada siang itu juga, lalu membakar dapur, merusakkan tape, potong pisang-pisang milik bapak Onco, pada saat penyerangan itu negeri Horale sangat sunyi karena anak-anak mudanya sedang berada di Saka untuk naik cengkih, yang ada pada saat itu hanya bapak Cau (mantan raja), bapak pendeta Pei dan pendeta Sabono, pada hari itu bapak Piet sudah mau panah para penyerang itu, cuma busurnya patah sehingga tidak jadi, itu menurut mereka karena Tuhan tidak berkenan karena kalau itu terjadi bisa menimbulkan konflik yang lebih besar lagi, setelah puas dengan tindakannya mereka kembali ke Saleman. Bapak pendeta, purnawirawan brimob, bapak Kerlely (babinsa) waktu itu, lalu bapak Yesayas (waktu itu ketua AMPI) dan bapak Tobias Patalatu (pejabat raja Horale) membuat penyelesaian dengan orang Saleman terkait masalah itu.       

·         Kejadian ini pada tahun 1987 pada masa pemerintahan pejabat raja bapak Tobias Patalatu dan terjadi di Saka yang waktu itu belum menjadi kampong. Kejadiannya adalah Hais Makatita dan Baco Haloatuan berada di Saka dan mereka berdua dalam keadaan mabuk turun hendak kepantai dalam perjalanan mereka berdua melihat ada bambu (bangkawang atap) yang terikat dipinggir jalan kemudian Hais memotong bambu-bambu tersebut sehingga berserakan dijalan, melihat bambu-bambunya yang berserakan dijalan bapak Olop Rumapusule mencari tahu siapa yang melakukan hal itu dan oleh masyarakat yang melihat kejadiannya melaporkan bahwa yang buat itu adalah Hais, maka bapak olop mencari dia dipantai dan memukulnya dengan kayu buah sampai babak belur. Kemudian Hais dan Baco kembali ke negeri Saleman dan melaporkan kepada keluarga besar mereka bahwa mereka berdua dipukul oleh orang Horale. Karena mendapat laporan begitu masyarakat Saleman sudah bersiap untuk melakukan penyerangan ke Horale namun hal itu dihentikan oleh bapak Muh Rum Haloatuan, beliau mengatakan, “katong seng tau permasalahan yang terjadi disana sebaiknya katong tanya bae-bae langsung kepada Hais dan Baco apa yang sebenarnya terjadi disana, karena seng mungkin ada apa-apa yang dorang dua buat sampe dapa pukul seperti ini”. Dipanggilkan Hais dan Baco, tapi yang menghadap hanya Baco lalu ia menceritakan kronologis kejadian yang sebenarnya. Di Horale selaku pejabat Raja maka bapak Tobias memanggil bapak Olop untuk sama-sama ke Saleman untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi itu. Dalam perjalanan ke Saleman sampai di SMP dekat pekuburan kita bertemu dengan bapak Raja tua (makatita), lalu kita kerumah bapak sekertaris negeri yang sudah menunggu kita, tujuan kita ke Saleman untuk menyelesaikan persoalan ini secara adat / kekeluargaan. Dipanggil Hais dan Baco untuk menghadap tapi mereka tidak datang, pada saat itu ada Raja tua, pejabat raja, saniri negeri dan Babinsa sehingga diselesaikan masalah tersebut.

·         Pada tanggal awal tahun 1998, berawal dari masyarakat Horale melakukan pameri pembersihan lahan untuk perkebunan rakyat, lalu dilakukan juga oleh masyarakat Saleman untuk membatasi luas lahan masyarakat Horale namun dilakukan diatas lahan milik bapak Calo, akhirnya bapak Calo bikin permasalahan, tapi ada oknum anggota Brimob yang tanam patok di lahan itu dan dia membuat papan dengan tulisan” tanah ini milik Sertu Ismail Olat, bapak Yesayas Maatukusailemane bilang” sejak kapan kesatuan punya tanah disini, beliau mau laporkan masalah ini kekesatuan yang bersangkutan namun hal itu dicegah / diingatkan oleh bapak Yan Syauta (camat), beliau katakan masalah antar dua negeri ini sudah cukup jangan buat masalah dengan Sertu Ismail lagi, menurut beliau kalau dilapor ulahnya itu bisa-bisa dia akan kena sanksi dari atasannya bahkan bisa dipecat, bapak Yesayas kembali berpikir betul juga nanti kalau dia dipecat bagaimana kehidupan keluarganya. Tapi satu ketika diatas katinting dari Saleman hendak ke Saka dia lepas 2 kali tembakan di muka negeri Horale, kemudian ada yang melaporkan peristiwa itu kepada komandannya dan dia dipanggil dan dikenakan sanksi. Terkait dengan permasalahan tanah tadi bapak Yesayas selaku pejabat raja negeri Horale meminta kesedian dari raja Saleman untuk membicarakan itu secara kekeluargaan namun beliau tidak bersedia, kemudian bapak Yesayas mengusulkan penyelesaian dengan melibatkan Muspika di gedung Siwalima kantor kecamatan di Wahai, sesampainya disana diberikan kesempatan bicara namun bapak raja Saleman mau supaya persoalan ini ditempuh melalui jalur pengadilan, selaku pemerintah negeri kami siap menerimanya, bukti-bukti yang diperlukan disiapkan dan sidang berlangsung di pengadilan negeri Masohi cuma terhenti karena terjadi konflik di kota Ambon yang kemudian berdampak ke Masohi. Sebenarnya permasalahan antara Horale dengan Saleman selama ini bisa diselesaikan secara adat, cuma untuk kasus ini karena mereka mau lewat jalur pengadilan negeri maka kami siap meladeni mereka.

·         Pada bulan Juni tahun 1999 tanggalnya tidak pasti, bermula dari pelarangan dan percekcokan mulut antara ibu Sophia Litalesy istri dari bapak Ais dengan anak raja Saleman yang pada waktu itu datang mengangkat kerikil di Waihuta (kali Huta) hal itu menimbulkan perkelahian pemuda kedua negeri yang menjurus kepada masyarakat kedua negeri. Pada saat itu bapak Yesayas Maatukusailemane (Pejabat raja Horale) sedang berada di Saleman dengan raja Saleman untuk mau ke Masohi untuk panggilan rapat. Melihat masyarakat kedua negeri sudah dengan parang maka beliau turun dari mobil dan selanjutnya menggunakan katinting menuju ke negeri Horale, sesampainya disana negeri sudah kosong, anak-anak dan ibu-ibu sudah mengungsi, beliau bertemu dengan ibu pendeta Pentury di sekolah, 4 orang Saniri Negeri, kemudian menggunakan HT beliau menghubungi petugas pengamanan dari Saka dan satu orang petugas polisi dari Seram Timur yang bertugas di Saka untuk bersama-sama pergi ke Saleman, namun mereka bilang tidak berani karena kasus yang terjadi ini sama dengan yang terjadi di Ambon dimana yang berhadapan itu putih melawan merah, cuma bapak Yesayas meyakinkan mereka supaya sama-sama ke Saleman dengan taruhan nyawanya untuk menyelesaikan masalah ini. Beliau mengumpulkan Saniri negeri untuk mengajak bersama-sama pergi ke Saleman tapi mereka takut mengingat kondisi konflik yang terjadi di kota Ambon, akhirnya dengan ditemani oleh bpk. Nick Rumalange (sekertaris negeri), ibu Pendeta Pentury, bapa Raja sekarang (Latumapina) dan petugas polisi mereka berangkat dengan katinting menuju ke Saleman. Sesampainya di depan negeri Saleman menurut beliau, itu masyarakat sangat banyak dengan menghunus parang, panah dan bom mau maju mati, kalau mundur bisa menimbulkan konflik juga, akhirnya beliau tanya kepada Nona Pdt, bagaimana ibu, jawab ibu pdt, maju saja lalu beliau tanya untuk petugas polisi, jawab mereka, mereka juga kaget karena bukannya putih melawan merah tapi merah melawan merah karena mereka juga memakai berang  merah akhirnya kita maju saja.
Setelah katinting merapat dan mereka turun, beliau melihat yang jemput itu bapak Kapitang Muh Rum Rumaolat (alm) beliau memakai salempang pinggang kain hitam, dan beliau mengatakan adik pejabat sudah jatuh ditanah, lalu pejabat Horale balik menjawab kalau bisa belah dada ini apakah hitam hati ini, lalu kapitan suruh semuanya mundur, cuma yang masih mengamuk dengan samurai lengkap dengan bom adalah Murad Olat (orang Sepa), dia bilang “kalau orang Horale bermain parang sebagai anak adat saya juga bisa” lalu dijawab oleh bapak pejabat Horale “kalau ale bisa, kita juga bisa” lalu kapitan melerai dan membentak Murad untuk stop berdebat dan menunjukkan aksinya. Negeri Sepa ini punya hubungan pela dengan negeri Seruawan, lalu ibu pendeta Pentury bilang, “ Pela jangan bilang bagitu, ale pela beta juga pela, ingatang”. Aparat polisi yang ikut serta bersamaan pada saat itu kelihatan sangat takut, karena taruh nyawa dimuka.
Setelah itu raja Saleman mengumpulkan tokoh adat, tokoh agama, saniri negeri dan beberapa purnawirawan yang telah pensiun namun menggunakan pakaian dinas lengkap. Dihadapan mereka semua pejabat negeri Horale bilang yang buat pelarangan untuk ambil kerikil di Waihuta sehingga menimbulkan masalah antara dua negeri ini bukan orang Horale, ibu itu hanya kebetulan kawin di Horale, jadi yang bisa melarang beraktifitas di Waihuta itu hanya orang Horale, coba bapak-bapak pikirkan hal itu baik-baik, lalu bapak pejabat kembali bilang buat mereka, “ saudara-saudara mau angkat kerikil berapa banyak tidak perlu ijin dari ibu itu, yang berhak memberikan ijin itu suaminya karena dia itu anak adat, terus beliau bilang lalu bagaimana persoalan ini? Jawab mereka, “katong dengar dari bapak pejabat itu berarti katong tidak berbuat sesuatu” lalu bapak pejabat Horale bilang mau ambil kerikil berapa banyak? Lalu mereka bilang, “setelah mendengar penjelasan dari bapak pejabat, hari ini juga katong punya emosi menurun, sebagai masyarakat Saleman katong akui katong salah. Setelah itu raja Saleman meminta maaf atas kekeliruan anak-anak yang datang ambil kerikil, jadi apa yang katong dengar, ada pejabat, tokoh adat, pendeta serta tokoh masyarakat dan masyarakat itu selesai, katong selesaikan dan tidak berbuat seperti itu lagi dan kalau mau melakukan sesuatu harus melalui jalur, karena ini adat dan kalau perlu sesuatu harus bicarakan dan minta ijin dari pejabat / raja dan kalau mereka tidak ada ditempat hubungi saniri negeri setempat. Dalam perjalanan pulang ke negeri Horale dengan katinting anggota polsek bilang, “bapak sebagai pemimpin negeri Horale punya nyali sangat besar, kalau menurut kita tadi itu tidak bisa datang ke Saleman, alasannya karena masalah yang dihadapi itu seperti masalah yang terjadi di Ambon sekarang ini kalau datang pasti dibunuh, ada kesan bagi mereka (polisi) bahwa ini bukan putih melawan merah tapi mereh melawan merah yang artinya ada hubungan adat istiadat. Setelah sampai di rumah bapak pejabat membuat laporan ke Muspika kecamatan Seram Utara, mereka menyalahkan bapak pejabat Horale karena tidak berkoordinasi dengan mereka dan menurut mereka untunglah tidak terjadi apa-apa dengan mereka yang pergi ke Saleman.  

·         Pada bulan April 2006 bapak Piet dengan bapak raja ke Wahai dan bermalam di Pasahari kemudian dipanggil oleh bapak Ulis Makatita lalu beliau katakan, bapak tidak diundang untuk proyek Jati Mas, lalu beliau sebutkan nama-nama negeri yang dapat proyek tersebut salah satunya Saleman, lalu itu menjadi pertanyaan, kalau Saleman dapat mengapa Horale tidak, padahal Horale wilayah petuanannya besar, lalu beliau arahkan bapak raja untuk membuat surat, pertanyakan itu ke dinas Kehutanan kabupaten Malteng, mengapa ada proyek penanaman anakan Jati Mas di wilayah Seram Utara oleh dinas Kehutanan kabupaten Maluku Tengah untuk negeri-negeri adat tapi Horale tidak diikutsertakan.
Sesuai kesepakatan rapat hari itu, pada tanggal 5 Mei 2006 itu sudah harus dilakukan pembongkaran. Proyek ini menjadi tanda tanya besar sebenarnya proyek ini siapa yang punya akhirnya, bapak Yesayas dan ibu pendeta punya suami ke dinas Kehutanan tingkat I untuk tanyakan hal ini, tapi jawab mereka proyek itu bukan proyek mereka, mereka bilang coba tanya ke dinas Kehutanan tingkat II, kembali bapak Yesayas, bapa raja dan saniri negeri datang ke dinas Kehutanan kabupaten Malteng, mereka mengatakan, mereka yang punya proyek itu dan pemerintah negeri Horale mengatakan lokasi penanaman Jati Mas disekitar jalan SS itu tanahnya milik petuanan negeri Horale, mereka menjawab, iya, karena kita mau bagaimana lagi, proyek harus jalan. Kemudian pemerintah negeri Horale lapor ke DPRD kabupaten dan ikut sharing dengan komisi A, ternyata komisi A mau memanggil dinas kehutanan sampai sekarang tidak pernah di lakukan, sedangkan Saleman yang adukan masalah penyerobotan tanah oleh orang Horale Pada hari Kamis tanggal 24 Maret kemarin, langsung komisi A merespons dengan cepat, tapi kalau kita punya masalah tidak pernah di tanggapi dengan baik. Jadi pemikiran kita mungkin mereka sudah satu dalam kata dan tidak ada keadilan buat orang Horale lagi di kabupaten ini. Sifat orang Horale yang bisa meredam amarah artinya setiap negeri itu punya tapal batas antar negeri, seperti Saleman, Horale, Wailulu, di dekat kali itu orang Saleman bikin penyerobotan tanah tanpa minta ijin dari orang Horale maupun Wailulu, itu kalau sebagai negeri adat tidak boleh mencuri, artinya mau datang ke negeri adat orang lain saja harus minta ijin apalagi bercocok tanam harus minta ijin bukan ikut mau sendiri, dengan demikian ketika terkait dengan DPRD kabupaten turun, karena orang Saleman melaporkan bahwa kita telah merusak kebun mereka, tapi selama konflik dari 2006-2008 kita tidak pernah bikin tanaman mereka rusak, jangankan jauh disana sedangkan dekat disini saja tidak. Padahal itu diwilayah petuanan kita yang dekat dengan negeri Wailulu, namun kita dilapor membuat kerusakan di kebun mereka.
Kembali ke masalah Jati Mas, kemudian pemerintah negeri Horale menyurati pihak dinas Kehutanan kab. Maluku Tengah dengan tembusannya kepada Polres Kab. Malteng dan GPM supaya dibatalkan proyek tersebut di Saleman karena penanaman akan dilakukan di wilayah petuanan negeri Horalen. Setelah surat tersebut disampaikan satu minggu tidak ada respons dari pihak-pihak terkait, malah terjadi pembongkaran lahan dan kebun-kebun masyarakat Horale untuk penanaman Jati Mas dan Jambu Mete dan juga untuk lahan pribadi oleh orang Saleman, untuk menghalangi supaya mereka tidak membuka lahan lebih luas lagi maka masyarakat Horale kemudian lebih mengaktifkan kegiatan lagi di kebun-kebun mereka dan membuka lahan baru juga untuk membatasi pergerakan orang Saleman.
Puncaknya, karena merasa diabaikan dengan laporan yang disampaikan kepada pemda kab. Maluku Tengah maka atas inisiatif sekelompok pemuda negeri Horale sore harinya itu mereka mencabut anakan Jati Mas dan Jambu Mete yang ditanam orang Saleman, ada sekitar 20.000 anakan yang dicabut pada saat itu.
Setelah seminggu berselang dari aksi pencabutan yang dilakukan, orang Saleman datang untuk mengecek anakan yang ditanam itu sudah tidak ada lagi, kemudian mereka menebang semua pohon kelapa dan pisang milik orang Horale yang berada di tepi jalan sampai bersih tanpa diketahui oleh orang Horale. Kebetulan mantunya bapak raja yang baru datang dari Masohi melihat pohon-pohon tersebut sudah berserakan di tepi jalan dan melaporkan hal tersebut kepada Raja di Saka, tepatnya pada hari Minggu tanggal 9 Juli. Kemudian Bapak Raja dan Bapak Kaur Bapak Ais datang mengecek apakah kejadian itu benar terjadi dan memang terjadi seperti apa yang dikatakan oleh mantunya. Besok paginya hari Senin tanggal 10 Juli Raja Horale mau ke Masohi untuk memberikan laporan. Pada waktu itu anak-anak Horale juga mau balik untuk sekolah di Waipia, di terminal ketika lagi duduk-duduk masyarakat mendengar sudah kacau. Anak-anak Saleman yang menaiki pok-pok hendak ke Saka mengundang anak-anak Horale bahwa kalau mereka jagoan ikut mereka (orang Saleman) ke terminal (Saka). Mengetahui hal itu maka pemuda Horale yang berada di Saka kemudian mengamuk dan membakar walang milik orang Saleman, karena apinya sangat besar sehingga merambat ke kios bensin dan solar milik orang Bugis dan membuat kebakaran lebih besar lagi sehingga rumah-rumah yang ada disekitar tempat itu ikut juga terbakar hal itu terjadi jam 8 pagi. Melihat hal itu maka anak-anak Saleman yang masih berada di atas katinting kembali ke negeri mereka dan kemudian melakukan aksi pembalasan dengan melakukan penyerangan pada jam 9 pagi ke Horale. Dalam aksi penyerangan itu pemuda Horale sudah mengetahuinya kemudian melakukan persiapan dan menunggu mereka diperbatasan kedua negeri. Dalam insiden tersebut diperkirakan melibatkan ratusan masyarakat Saleman dan setelah ada  korban dipihak Saleman maka mereka secara serentak kembali ke negeri mereka.
Tanggal 13 Juli dibuat perjanjian damai dan pernyataan kesepakatan damai antar tokoh masyarakat kedua negeri yang disaksikan oleh Bupati Maluku Tengah, Ir Abdulah Tuasikal dan Kapolres Maluku Tengah, AKBP Herman Agus Purnomo. Aparat yang ditempatkan untuk menjaga keamanan di Saka dan Horale berjumlah 21 orang dari brimob Maluku Tengah yang bertugas selama 2 minggu dari hari kejadian setelah itu yang bertugas hanya anggota polisi biasa dari Polres Maluku Tengah dengan jumlah 2 orang tiap negeri.
Setelah kejadian itu kehidupan masyarakat kedua negeri seperti biasa lagi orang saleman mulai datang ambil kelapa dikebun-kebun mereka dan mulai berinteraksi dengan orang Horale, cuma butir kesepakatan damai yang menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten Maluku Tengah untuk memediasi perdamaian dari sisi nurani dan secara adat tidak dilakukan, dalam kesepakatan damai itu akan dibentuk tim dari Kabupaten yang akan turun untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat kedua negeri tapi hal itu tidak dilakukan. Kerugian yang dialami, rumah 3 unit, walang, motor 3 unit, mobil kijang, 1 buah speedboat, 2 mesin speedboat, cengkih 7 ton milik orang bugis. Menurut masyarakat Horale, mereka diperlakukan tidak adil didepan hukum alasannya orang Saleman yang pertama menimbulkan kekacauan ini tapi salah satu dari mereka tidak ada yang di tahan apalagi sampai diproses hukum, tapi masyarakat Horale yang membela diri dan negerinya karena di serang orang Saleman ditahan sebanyak 23 orang di polres Maluku Tengah, kemudian 5 orang dipulangkan dan 18 orang diproses lanjut ke meja hijau dan menjalani hukuman kurungan selama 6 bulan dan ada juga yang 9 bulan. Yang anehnya ketika dalam pemeriksaan maupun dalam sidang ketika ditanya oleh penyidik, jaksa dan hakim awal permasalahan kasus ini dan dijawab oleh masyarakat Horale yang ditahan, awalnya adalah dari program penanaman Jati Mas yang dilakukan di wilayah petuanan negeri Horale tapi hal itu tidak ditanggapi oleh mereka dan menurut mereka lebih difokuskan pada peristiwa tanggal 10 Juli dan menurut penilaian mereka masayarakat Horale dalam kasus ini pasti melibatkan orang nomor satu di kabupaten Maluku Tengah.
Ada satu solusi dalam rangka penyelesaian Horale – Saleman ini harus dilakukan pertemuan antar marga lalu bicara dalam koridor orang basudara dari pertemuan itulah baru ditemukan kebenaran. Kalau mau libatkan marga pendatang lainnya di Saleman maka itu susah.

·         Sebelum kejadian tanggal 2 Mei 2008 itu hubungan dan interaksi masyarakat Horale dengan Saleman baik-baik saja, aktivitas berlangsung seperti biasanya mereka datang untuk timbang cengkih, menjual pakaian dan mencari ikan di muka labuhan negeri Horale. Kejadian tanggal 2 Mei tahun 2008, masyarakat negeri Horale tidak menyangka akan mengalami musibah ini. Kata salah seorang pemudanya “kita seperti baru habis terbangun dari tidur dengan mimpi yang menyakitkan”. Sebelum peristiwa ini tidak ada peristiwa yang bisa dibilang menjadi pemicu peristiwa ini, memang ada kabar yang mengatakan bahwa telah terjadi penumpukan massa di negeri Saleman dengan masuknya orang-orang dari luar negeri Saleman dan sudah dilakukan beberapa kali rapat yang dilakukan. Tanggal 29 April 2008 anggota Polsek Wahai datang ke Horale untuk mengecek keadaan negeri Saleman dan Horale karena mungkin mereka sudah mendengar isu mau dilakukan penyerangan tapi mereka juga merahasiakan hal itu dari kami dan alasan mereka datang itu untuk melakukan swiping minuman keras dan HUT RMS, sesampainya mereka dari Horale ke Saka kebetulan disana ada seorang petugas polsek Wahai (Axel Pentury) yang ditugaskan untuk jaga di Saka dia kemudian di suruh untuk kembali ke Polsek Wahai.
Siang hari tanggal 1 Mei 2008 ada syukur kenaikan, masyarakat semuanya ada, tidak melakukan aktivitas apa-apa, tanggal 2 Mei sekitar jam 4 pagi hari masyarakat terkejut, bangun dari tidurnya ketika mendengar 3 kali bunyi tembakan dan mereka menyadari bahwa mereka telah diserang oleh orang Saleman. Dalam keadaan itu masyarakat masing-masing lari menyelamatkan diri ke hutan dibelakang negeri. Penyerangan dilakukan dari berbagai penjuru negeri Horale dari arah perbatasan kedua negeri disebelah Timur ada dua regu penyerangan satu dari arah hutan dan satu dari pantai, kemudian dengan menggunakan speedboat dari arah laut dan dari arah Barat negeri Horale. Penyerangan dilakukan bukan hanya di negeri Horale tapi juga dilakukan di dusun Saka negeri Horale berselang 15 menit dari penyerangan yang dilakukan di negeri Horale. Di Saka masyarakat juga terkejut ketika mendengar bunyi tembakan itu dan mulai keluar dari rumah untuk menyelamatkan diri mereka. Akibat penyerangan yang dilakukan ini menimbulkan korban jiwa 4 orang, 2 orang di Horale yakni bapak E. Unwaru (84) dan Yoseph Latumahina (30) sedangkan di dusun Saka adalah Ny. W. Pattiasina (47) dan Yola Pattiasina  (6). Kerugian material lainnya adalah sebanyak 92 buah rumah yang terbakar, 2 rumah ibadah, 1 buah BK, gedung SD Inpres Horale yang dirusak, 1 kantor negeri dengan balai pertemuan yang dibakar serta puluhan mesin dan body ketinting yang dirusak dan dibakar, dan ganti rugi terkait dengan musibah ini terhadap rumah yang dibakar dilakukan oleh pihak provinsi Maluku tidak ada dari pemerintah Kabupaten.
Setelah habis membakar seisi negeri Horale dan dusun Saka maka para penyerang itu kembali ke negeri Saleman dengan menggunakan speedboat dan katinting sekitar jam 6 pagi. Setelah merasa aman maka masyarakat Horale kemudian turun ke negeri mereka untuk mematikan api di beberapa rumah yang masih terbakar, dan masyarakat menemukan banyak selongsong peluru dan serpihan bom dan juga jerigen berisi minyak tanah yang dicampur bensin serta panah-panah wayer, kopi yang diisi dalam botol dan nasi-nasi bungkus yang berserakan.
Aparat keamanan dari polres Malteng diturunkan sekitar jam 10 pagi disaat penyerangan sudah selesai dilakukan.
Untuk menyelesaikan masalah penyerangan, pembakaran, dan pembantaian masyarakat dan negeri Horale yang dilakukan oleh orang Saleman pada tanggal 2 Mei 2008 kami serahkan kepada pihak aparat keamanan untuk segera mengusut tuntas tapi kenyataannya hanya beberapa yang ditangkap sedangkan ratusan lainnya yang ikut serta dalam aksi tersebut tidak ditangkap dan anehnya mereka hanya beberapa bulan saja menjalani hukuman padahal sesuai dengan UU NO 21 tentang Darurat  yang digantung dalam bentuk spanduk di negeri Horale oleh aparat kepolisian menyatakan barang siapa yang menyimpan, memiliki dan menggunakan bahan-bahan peledak seperti bom, senjata api, munisi diancam dengan hukuman 15 Tahun penjara. Disini kami melihat pemerintah dan aparat hukum tidak adil kepada kami  dengan melakukan pembiaran bagi pelaku kejahatan kemanusian berbuat seenaknya dan hanya diganjar hukuman yang sangat ringan, kalau dibandingkan dengan kasus 10 Juli 2006, dan untuk masalah wilayah petuanan kami sudah mengusulkan supaya diselesaikan secara hukum adat pada tahun 2006 dengan melibatkan Latupati Seram Utara dengan ketuanya raja negeri Sawai, beliau siap dan juga kami negeri Horale siap tapi mereka dari Saleman tidak bersedia, mereka lebih memilih melalui jalur hukum di pengadilan negeri Masohi. Menurut masyarakat Horale mereka (Saleman) takut untuk melalui jalur hukum adat karena menyangkut adat tidak bisa direkayasa dan diputarbalikkan fakta dan kebenaran sedangkan kalau menurut hukum formal negara segala sesuatu bisa diatur apalagi jika ditangani oleh para hakim yang bukan merupakan masyarakat adat Maluku.
Menurut salah seorang pemuda negeri Horale dalam persidangan yang dilakukan, ketika dimintai keterangan sebagai saksi, raja negeri Sawai yang juga ketua Latupati Seram Utara, beliau mengatakan didepan sidang pengadilan negeri, “bahwa secara ukuwah saya mengenal Saleman tapi secara adat saya katakan sejujurnya saya tidak kenal Saleman”.
Untuk kasus penyerangan pada tahun 2008 ini langkah konkrit penyelesaian masalahnya sudah dilaksanakan melalui jalur hukum dan upaya mediasi untuk perdamaian kedua negeri ini juga belum dilakukan karena belum ada pihak ketiga yang mau melakukannya, dan masyarakat kedua negeri ini juga lebih menunggu hasil putusan hukum yang sedang dijalani di tingkat Mahkamah Agung. Walaupun demikian masyarakat Horale secara berbesar hati siap untuk duduk satu meja dengan masyarakat Saleman untuk membicarakan perdamaian.
Menurut raja negeri Horale bapak Herman Latumapina, “Apa yang terjadi itu adalah kehendak Tuhan, dan segala sesuatu yang merupakan kehendak Tuhan itu, akan indah pada akhirnya ”.
 Sumber:
By Revo Gaspersz
http://negerihorale.blogspot.com/2011/05/sejarah-konflik.html

Tuesday, 14 October 2014

Ahok: Ini Aku Tuhan, Utuslah Aku

Ini Aku Tuhan Utuslah Aku

Basuki Tjahaja Purnama

Saya lahir di Gantung, desa Laskar Pelangi, di Belitung Timur, di dalam keluarga yang belum percaya kepada Tuhan. Beruntung sekali sejak kecil selalu dibawa ke Sekolah Minggu oleh kakek saya. Meskipun demikian, karena orang tua saya bukan seorang Kristen, ketika beranjak dewasa saya jarang ke gereja.
Saya melanjutkan SMA di Jakarta dan di sana mulai kembali ke gereja karena sekolah itu merupakan sebuah sekolah Kristen. Saat saya sudah menginjak pendidikan di Perguruan Tinggi, mama yang sangat saya kasihi terserang penyakit gondok yang mengharuskan dioperasi. Saat itu saya walaupun sudah mulai pergi ke gereja, tapi masih suka bolos juga. Saya kemudian mengajak mama ke gereja untuk didoakan, dan mujizat terjadi. Mama disembuhkan oleh-Nya! Itu merupakan titik balik kerohanian saya. Tidak lama kemudian mama kembali ke Belitung, adapun saya yang sendiri di Jakarta mulai sering ke gereja mencari kebenaran akan Firman Tuhan.

Suatu hari, saat kami sedang sharing di gereja pada malam Minggu, saya mendengar Firman Tuhan dari seorang penginjil yang sangat luar biasa. Ia mengatakan bahwa Yesus itu kalau bukan Tuhan pasti merupakan orang gila. Mana ada orang yang mau menjalankan sesuatu yang sudah jelas tidak mengenakan bagi dia? Yesus telah membaca nubuatan para nabi yang mengatakan bahwa Ia akan menjadi Raja, tetapi Raja yang mati di antara para penjahat untuk menyelamatkan umat manusia, tetapi Ia masih mau menjalankannya! Itu terdengar seperti suatu hal yang biasa-biasa saja, tetapi bagi saya merupakan sebuah jawaban untuk alasan saya mempercayai Tuhan. Saya selalu berdoa ”Tuhan, saya ingin mempercayai Tuhan, tapi saya ingin sebuah alasan yang masuk akal, cuma sekedar rasa doang saya tidak mau,” dan Tuhan telah memberikan PENCERAHAN kepada saya pada hari itu. Sejak itu saya semakin sering membaca Firman Tuhan dan saya mengalami Tuhan.

Setelah saya menamatkan pendidikan dan mendapat gelar Sarjana Teknik Geologi pada tahun 1989, saya pulang kampung dan menetap di Belitung. Saat itu papa sedang sakit dan saya harus mengelola perusahaannya. Saya takut perusahaan papa bangkrut, dan saya berdoa kepada Tuhan. Firman Tuhan yang pernah saya baca yang dulunya tidak saya mengerti, tiba-tiba menjadi rhema yang menguatkan dan mencerahkan, sehingga saya merasakan sebuah keintiman dengan Tuhan. Sejak itu saya kerajingan membaca Firman Tuhan. Seiring dengan itu, ada satu kerinduan di hati saya untuk menolong orang-orang yang kurang beruntung.

Papa saat masih belum percaya Tuhan pernah mengatakan, ”Kita enggak mampu bantu orang miskin yang begitu banyak. Kalau satu milyar kita bagikan kepada orang akhirnya akan habis juga.” Setelah sering membaca Firman Tuhan, saya mulai mengerti bahwa charity berbeda dengan justice. Charity itu seperti orang Samaria yang baik hati, ia menolong orang yang dianiaya. Sedangkan justice, kita menjamin orang di sepanjang jalan dari Yerusalem ke Yerikho tidak ada lagi yang dirampok dan dianiaya. Hal ini yang memicu saya untuk memasuki dunia politik.

Pada awalnya saya juga merasa takut dan ragu-ragu mengingat saya seorang keturunan yang biasanya hanya berdagang. Tetapi setelah saya terus bergumul dengan Firman Tuhan, hampir semua Firman Tuhan yang saya baca menjadi rhema tentang justice. Termasuk di Yesaya 42 yang mengatakan Mesias membawa keadilan, yang dinyatakan di dalam sila kelima dalam Pancasila. Saya menyadari bahwa panggilan saya adalah justice. Berikutnya Tuhan bertanya, ”Siapa yang mau Ku-utus?” Saya menjawab, ”Tuhan, utuslah aku”.

Di dalam segala kekuatiran dan ketakutan, saya menemukan jawaban Tuhan di Yesaya 41. Di situ jelas sekali dibagi menjadi 4 perikop. Di perikop yang pertama, untuk ayat 1-7, disana dikatakan Tuhan membangkitkan seorang pembebas. Di dalam Alkitab berbahasa Inggris yang saya baca (The Daily Bible - Harvest House Publishers), ayat 1-4 mengatakan ”God’s providential control”, jadi ini semua berada di dalam kuasa pengaturan Tuhan, bukan lagi manusia. Pada ayat 5-10 dikatakan ”Israel specially chosen”, artinya Israel telah dipilih Tuhan secara khusus. Jadi bukan saya yang memilih, tetapi Tuhan yang telah memilih saya. Pada ayat 11-16 dikatakan nothing to fear, saya yang saat itu merasa takut dan gentar begitu dikuatkan dengan ayat ini. Pada ayat 17-20 dikatakan ”needs to be provided”, segala kebutuhan kita akan disediakan oleh-Nya. Perikop yang seringkali hanya dibaca sambil lalu saja, bisa menjadi rhema yang menguatkan untuk saya. Sungguh Allah kita luar biasa.

Di dalam berpolitik, yang paling sulit itu adalah kita berpolitik bukan dengan merusak rakyat, tetapi dengan mengajar mereka. Maka saya tidak pernah membawa makanan, membawa beras atau uang kepada rakyat. Tetapi saya selalu mengajarkan kepada rakyat untuk memilih pemimpin: yang pertama, bersih yang bisa membuktikan hartanya dari mana. Yang kedua, yang berani membuktikan secara transparan semua anggaran yang dia kelola. Dan yang ketiga, ia harus profesional, berarti menjadi pelayan masyarakat yang bisa dihubungi oleh masyarakat dan mau mendengar aspirasi masyarakat. Saya selalu memberi nomor telepon saya kepada masyarakat, bahkan saat saya menjabat sebagai bupati di Belitung. Pernah satu hari sampai ada seribu orang lebih yang menghubungi saya, dan saya menjawab semua pertanyaan mereka satu per satu secara pribadi. Tentu saja ada staf yang membantu saya mengetik dan menjawabnya, tetapi semua jawaban langsung berasal dari saya.

Pada saat saya mencalonkan diri menjadi Bupati di Belitung juga tidak mudah. Karena saya merupakan orang Tionghoa pertama yang mencalonkan diri di sana. Dan saya tidak sedikit menerima ancaman, hinaan bahkan cacian, persis dengan cerita yang ada pada Nehemia 4, saat Nehemia akan membangun tembok di atas puing-puing di tembok Yerusalem.

Hari ini saya ingin melayani Tuhan dengan membangun di Indonesia, supaya 4 pilar yang ada, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya wacana saja bagi Proklamator bangsa Indonesia, tetapi benar-benar menjadi fondasi untuk membangun rumah Indonesia untuk semua suku, agama dan ras. Hari ini banyak orang terjebak melihat realita dan tidak berani membangun. Hari ini saya sudah berhasil membangun itu di Bangka Belitung. Tetapi apa yang telah saya lakukan hanya dalam lingkup yang relatif kecil. Kalau Tuhan mengijinkan, saya ingin melakukannya di dalam skala yang lebih besar.

Saya berharap, suatu hari orang memilih Presiden atau Gubernur tidak lagi berdasarkan warna kulit, tetapi memilih berdasarkan karakter yang telah teruji benar-benar bersih, transparan, dan profesional. Itulah Indonesia yang telah dicita-citakan oleh Proklamator kita, yang diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan nyawa. Tuhan memberkati Indonesia dan Tuhan memberkati Rakyat Indonesia.


                                                                                                Sumber :  http://www.giadrcipto.org
                                                                                                           

Monday, 6 October 2014

Sejarah Masuknya Injil di Papua melalui Pulau Mansinam


Sejarah Masuknya Injil di Papua melalui Pulau Mansinam

Perjalanan Geisiser dan Ottow dari (Berlin-Nederland) 

Pada tanggal 25 April 1852, Geissier dan salah seorang rekan yang disiapkan Giosner, S neider berangkat ke Hrsmen bersama dengan Pdt. O.G.Heldring dan disana mereka tinggal dua bulan. Pdt. O.G. Heldring adalah seorang penggerak dibidang Missi Zending ke daerah-daerah bangsa kafir. Kemudian mereka bertemu pula dengan seorang rekan Missionaris C.W. Ottouw yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh O.G. Heldring. Dan pada malam tanggal 26 Juni 1852 telah diutus menumpangi kapal, ABEL TASMAN dan berangkat ke Rotterdam dan menuju Batavia. Tetapi sebelum mereka naik Kapal Abel Tasman, meraka bersama-sama berdoa dan menyerahkan diri mereka dengan sukacita kedalam pemeliharaan kuasa tangan Tuhan.
Pada tanggal 7 Oktober 1852 mereka tiba dengan selamat-aman di tanah Batavia. Di Batavia (tanah Jawa) C.W. Ottoe dan J.G. Geissier yang akan meneruskan perjalanan ke tempat tujuan dan kerinduan mereka harus bersabar selama satu setengah tahun. Dan kesabaran, kesetiaan mereka disini diuji oleh Tuhan. Disamping itu perlahan mereka menyesuaikan diri dengan iklim negeri tropik.
Karenanya J.G. Geissler membuka dan memimpin suatu sekolah rakyat di Pusat Missi Belanda bagi penduduk pribumi di Batavia.
Pada bulan April 1854 terbuka jalan Tuhan suatu kemungkinan untuk menggapai Tanah kerinduan mereka yaitu Papua. Di Batavia ada seorang saudagar muda namanya "Ring" pemimpin dan pendiri Perhimpunan Missi memberi informasi bahwa Pulau kecil Mansinam yang dekat dengan daratan Manokwari penduduknya ramah, terbuka (namun disini sebenarnya kala itu Tanah Papua penduduknya hidup tertutup, dianggap buas dan menolak orang asing).
Penduduk dari daratan dore-Mnukwar mengakui Sultan dari Tidore yang dibawah kekuasaan Pemerintah Belanda rupanya tidak keberatan bila Missionaris Kristen datang ke Mansinam Papua. Begitu surat jalan dari Pemerintah Balanda yang sampai ke Ternate, Ottow dan Geisler sangat bersukacita atas berita keberangkatan ke Papua. Geisler menulis dalam suratnya kepada Gossner sebagai berikut "Terpujilah Tuhan, sehingga waktunya telah tiba yang telah lama kami menantikan". Kami akan berangkat kesuatu tempat dimana belum ada seorang Massionaris datangi dan tinggal karenanya kami tidak dapat mengharapkan perlindungan dari Dia yang telah bersabda : Aku akan menyertai kamu sampai kepada akhir zaman (Matius, 28 : 20) Perpisahan dan mereka meninggalkan Batavia pada tanggal 9 Mei 1854.
Dan akhirnya 30 mei 1854 mereka tiba di Ternate dan diterima dengan sangat ramah oleh Pdt.J.E.Hoveker dan isteri (yang sejak 1833 sebagaiPdtJemaat Protestan yang kecil disitu). Serta tinggal bersama dirumahnya. Disana mereka belajar dan memperdalam bahasa melayu serta belajar mengkaji berbagai informasi tentangsikon Papua. Dan harus bersabar menunggu selamasetengah tahun. Sesudah itu Residen Balanda C.Bosscher dari Ternate diharapkan dapat menolong untuk perjalanan ke Papua. Rekan-rekan Missionaris di Batavia mengirimkan 200 Gulden kepada mereka. Seorang guru Wehker dari Ternate yang sangat kagum merelakan putranya yang bernamaFrits berusia 12 tahun untuk menjadi pelayan bagi mereka. Mereka diperbolehkan membawa barang-barang sebanyak yang mereka butuhkan. Perjalanan itu mereka dibekali beberapa ekor sapi, ayam, bebek, dan angsa.
Merka kemudian menerima surat jalan dari Sultan Tidore yang dogmanya Islam. Disaat residen Belanda menjelaskan kepada Sultan bahwa Ottow dan geissler mereka adalah Peneliti Alam. Tetapi Sultan yang sudah lama mengetahui identitas mereka, berkata "ah mereka kan missionaries pekabaran Injil" jangan merubah status mereka, biarkan mereka menyebarkan ke Kristenan mereka. Maka Sultan memberikan surat Ijinbagi mereka bahkan memerintahkan kepada para kepala suku untuk melindungi dan menolong mereka jika mereka kekurangan makanan.

TIBA DI TANAH PAPUA JANUARI 1855
Pada tanggal 12 Januari 1855 bertolaklah mereka dari Dermaga Ternate, menumpang Kapal (...) Ternate menuju Pulau tujuan mereka Mansinam. Dan ketika menunggu pelayaran selama 25 hari pada tanggal 5 Februari 1855 Kapal Ternate membuang sauhnya di depan pulau Manansbari (Mansinam) Dalam agenda Harian Geislee, menulis kepada Gossner demikian : Anda tidak dapat membayangkan betapa besarnya rasa sukacita kami pada saat akhirnya dapat melihat tanah tujuan kami, Minggu pagi Zending sauh dibuang untuk berlabuh di teluk Doreri. Matahari terbit dengan indahnya, ya semoga matahari yang sebenarnya, yaitu Rahmat Tuhan yang menyinari kami dan orang-orang kafir yang malang itu yang telah sekian lamanya merana didalam kegelapan semoga Sang Gembala setia mengumpulkan mereka dibawah tongkat GembalaanNya yang lembut. (Sekoci pertama yang menuju daratan membawa kedua orang penginjil itu kedaratan Mansinam pada pagi hari). Sebagaimana tindakan terakhir mereka lakukan saat berangkat dari Eropa, berdoa, maka masuk kedalam semak-semak berlutut dan mencurahkan isi hati mereka ("Dalam Nama Allah kami menginjak kaki di Tanah ini") Mereka memohon kepada Tuhan Allah untuk memperoleh kekuatan, hikmat dan terang, agar dapat mamulai Missi Pekabaran Injil dengan baik. Tentang reaksi dan respond (penerimaan) penduduk pulau Manamsbari kurang disentil (F.C. Kamma, ajaib di mata kita, Jakarta BPK 1981 hal 87) Namun tentunya pendaratan dan kehadiran serta gerakan-gerakan mereka sebagai orang asing tak dilewatkan, terutama ketika kedua Mssionaris itu masuk kedalam semak-semak berlutut dan menyerahkan isi hati berdoa kepada Tuhan.
GAMBARAN UMUM PADA WAKTU ITU
New Guinea ditemukan oleh orang Portugis yang bernama Meneses pada tahun 1526, sedangkan namanya oleh seorang Spanyol yang bernama Alvarado pada tahun 1528 (jadi 300 tahun kemudian) orang Belanda berupaya untuk membuat tempat pemukiman di Kolobai di Pantai barat yang diberi nama DUBUS bagian selatan Papua daerah Fakfak sesuai dengan nama komisaris Nederland Hindia namun pada tahun 1836 mereka menghentikan usaha mereka karena dianggap terlalu mahal dan sia-sia. Pada tahun 1847 ada beberapa Missionaris Khatolik yang bermukim di pantai timur laut, namun pada tahun 1852 mereka menghentikannya dan pindah ke pulau yang lain. Pemukiman besar yang pertama di Puau yang besar, kaya dan diberkati ini dan diklaim kepemilikannya selama 350 tahun barulah terjadi melalui kedua orang Jerman Ottow dan Geislert pada tahun 1855.
Nama Papua berasal dari kata dalam bahasa melayu, yaitu "Pua-Pua" yang berarti rambut keriting dan kemudian disingkat Papua.
Orang Papua pada waktu itu sangat curiga terhadap orang asing. Disamping itu mereka terkenal untuk merampok dan berperang serta hidup dari berdagang.
Rumah-rumah mereka dibangun diatas air untuk melindungi dari serangan musuh. Kebanggaan mereka adalah keberhasilan membunuh orang lain, yang ditandai dengan jumlah bulu sebagai hiasan kepala.
Kebiasaan untuk memakai manusia juga dijumpai di Tanah Papua Waktu itu. Mencuri dan perzinahan dipandang sebagai pelanggaran yang besar dan mendapat hukuman yang besar pula. Seringkala pula terjadi pembunuhan terhadap bayi-bayi yang baru lahir dan orang-orang yang sakit keras dikubur hidup-hidup.
AWAL YANG SULIT DAN PENUH TANTANGAN PADA TANGGAL 5 Februari 1855 C.W.Ottow dan rekannya J.G.Gaissler tiba di Mansinan yang letaknya berhadapan dengan Dore (Manokwari). Sebagai tempat tinggal sementara mereka memakai sebuah gubuk gudang penumpang batu bara peninggalan para pelaut ditepi pantai. Situasi yang dihadapi mereka sangatlah sulit. Kapal yang menghantar mereka sudah kembali. Tidak ada orang kecuali Frits yang dapat diajak berbicara. Mereka tidak bisa berkomunikasi dengan penduduk setempat dan bahasanya, mereka mengurusi diri mereka sendiri.
Penduduk setempat tidak memahami maksud dan tujuan kedua orang asing ini untuk menetap di Mansinam.
Dalam surat pengantar dikatakan Sultan Tidore mengirim mereka sebagi orang yang baik dan dengan maksud dan tujuan yang baik, tetapi hal itu tidak dapat mereka percayai, karena Sultan belum pernah melakukan kebaikan terhadap mereka (penduduk-masyarakat Pulau Mansinam- tetapi juga Papua umumnya). Terlebih penduduk terbiasa harus menanggung ketidak adilan dari Sultan Tidore.
Dengan alasan pajak setiap tahun mereka dijarah dan anggota keluarga mereka dijadikan budak, sebab itu tidaklah mengherankan kalu mereka tidak mempercayai isi surat dari Sutan Tidore dengan segala penjelasannya. Dalam hidup sehari-hari nampak kecurigaan penduduk setempat terhadap Ottow dan Geissler, kendatipun mereka tidak berani untuk menyerang kedua orang asing itu, tetapi dimata mereka, sehingga menurut mereka cepat atau lambat kedua orang asing ini akan disingkirkan, oleh sebab itu Ottow dan Geissler bersikap selalu waspada.

MEMULAI DENGAN AKTIFITAS UJIAN PERTAMA Tibalah saatnya untuk memulai Pekerjaan mereka. Pertama-tama mereka harus mencari kayu yang cocok untuk membuat perahu dihutan Pulau Mansinam untuk dijadikan sarana transportasi laut untuk menyebrang kedaratan Manokwari, dimana rencana untuk membangun sebuah rumah. Karena mereka tak berpengalaman dengan jenis-jenis kayu di Papua, penduduk di Pulau Mansinam pun tidak menolong mereka dengan memberi informasi, maka mereka berdua berapa kali salah memilih kayu, sehingga pekerjaan berminggu-minggu menjadi sia-sia. (Kata Camma Geissler menulis dengan sampai tiga kali pohon kayu yang kami pilih dan tebang adalah pohon kayu yang besar, kayu besi yang tidak cocok karena berat dan akhirnya pecah karena kana panas matahari maka kami hampir tidak berdaya lagi. Tetapi syukurlah saya melihat sebuah perahu di rumah orang Papua, dan saya beruntung dapat membelinya dengan harga 12 gelden. Dan akhirnya dengan Perahu itulah digunakan mereka untuk menyeberang ke daratan Manokwari Teluk Dore (Kwawi) dan di daratan Kwawi setiap hari mereka bekerja menebang pohon. Dan pada malam harinya mendayung kembali ke pulau Mansinam.
Karena mereka bekerja begitu keras pagi hingga malam sehingga akhirnya mereka jatuh sakit. Pertama-tama anak Frits menjadi sakit dan kemudian Ottow terkena kelengar mata hari, sehingga Ottow hampir meninggal . menghadapi keadaannya itu Geissler menulis dalam buku hariannya, saya sangat sedih dan memikirkannya, tetapi saya berdoa kepada Tuhan.
Tuhan saya membutuhkan dia dan orang-orang kafir ini membutuhkan dia, dem kerajaan-Mu, pulihkanlah dia kembalidan Tuhan yang Maha Mendengar seruan doa hamba-Nya dan akhirnya Ottow menjadi sembuh. Tak lama kemudian Gaissler yang kena giliran sakit. Tamu yang jahat yaitu demam Malaria menyerang dia. Juga terkena luka borok (abses) di kakinya yang sangat membahayakan atau menyakitkan. Ottow juga berulang kena radang otak. Demikian mereka berdua terbaring dalam kesakitan, lemah dan tanpa pertolongan apapun di gubuk mereka di Mansinam.
Penduduk Mansinam mulai sadar bahwa kedua orang ini tidak membahayakan, kendati demikian mereka tidak menolong, acuh dan tanpa perasaan terhadap Ottow dan Gaissler. Ada sekelompok orang dari penduduk setempat sempat datang ke dalam gubuk untuk menengok , tetapi mereka hanya duduk saja, hanya memperhatikan Ottow dan Gaissler selama berjam-jam tanpa menolong sedikitpun. Tidak ada tangan yang diulurkan untuk memberikan segelas air.
Akhirnya datanglah pertolongan yang diharapkan. Gaissler menulis : Sesudah demam malaria meninggalkan saya dan saya untuk pertama kalinya dapat keluar gubuk. Saya merasakan kesakitan di kaki kiri saya, Borok itu semakin besar dan memerah, sehingga saya tidak dapat meninggalkan tempat tidur. Kesakitan saya begitu luar biasa, sehingga saya berteriak dan terus merintih dan berdoa kepada Tuhan yang menjanjikan : Mintalah, carilah, ketuklah. Meskipun kami tudak mempunyai harapan akan jalan keluar dari penderitaan ini, akan tetapi tetaplah benar apa yang Tuhan katakana : Tidak ada hal yang mustahil bagi mereka yang percaya, walaupun tidak terjadi mujizat yang luar biasa, tetapi Tuhan telah memimpin hati manusia seperti aliran sungai sehingga tanpa terduga datanglah sebuah kapal uap ke Mansinam, sehingga saya diselamatkan. Saya harus kembali ke Ternate. Tetapi keputusan ini sangatlah berat bagi saya. Beberapa tuan besar diatas kapal tersebut termasuk dokter kapal berusaha untuk meyakinkan saya, tetapi sia-sia karena saya masih tetap mau bertahan di Mansinam. Akhirnya Residen Belanda sendiri mengirim pesan sampai ketempat tidur saya dan mengatakan :
Saya memberikan kebebasan kapada Anda untuk datang ke Tanah Papua dan untuk berusaha hidup, tetapi karena kepada saya disampaikan Anda dalam keadaan kritis (hampir mati), maka saya hanya dapat mengatakan Anda harus kembali. Demikianlah akhirnya saya menyerah dan ikut ke Ternate.
Di Ternate J.G. Gaissler mendapat perawatan dan akhirnya sembuh, tetapi harus menunggu Kapal selama sekitar 10 (sepuluh) bulan untuk kembali ke Mansinam.
C.W. Ottow dengan pembantu mereka Frits tinggal sendirian di Pulau Mansinam. Walaupun terkadang di serang, Demam Malaria tapi selalu memperoleh keberanian, tenaga keteguhan hati pada keyakinan dan visinya. Untuk mengatasi kesepian Ottow mengintensifkan hubungan dengan para penduduk terutama melalui imbal dagang. Ottow membeli hasil-hasil penduduk, kacang-kacangan, ikan, burung cenderawasih, kerang, perisai- senjata tradisional, teripang dan di jual kepada saudagar dari kapal Van Duivenbode, hasil uang dari penjualan tersebut digunakan untuk belanja kebutuhan pokok, obat-obatan. Pada tanggan 12 Januari 1856 (Gaissler) berangkat sengan kapal kembali ke Tanah Papua Mansinam di sertai 5 orang tukang kayuuntuk membangun rumah disana.
Tugas pewartaan pemberitaan Firman.Injil, atau penyebaran.
Pada tanggal 25 September 1858, dating 12 orang dalam kondisi lemah yang selamat dari kecelakaan kapal Belgia "Constant" Kapal tersebut pada tanggal 12 Juni 1858, menabrak batu karang dan pecah akibat salah leinnya disebelah selatan pulau karang Mansinam. Orang-orang Papua yang ramah pada saat itu melihat pada punggung salah satu awak kapal terdapat tulisan doa dalam bahasa Belanda akhirnya membawa mereka kepada Ottow dan merawat serta memberi makan pada anak buah kapal yang kena musibah tersebut selama 6 bulan.
Kedua misionaris dengan bantuan dari tukang dari Kapal tersebut, bersama 4 orang tukang dari Halmahera (Gelela) Ottow mengadakan pelayanan kebaktian setiap hari Minggu kepada mereka dalam bahasa Belanda. Dengan penuh rasa syukur mereka menngalkan Mansinam dan menggunakan perahu layer pada tanggal 11 April 1859 dan tiba di Ternate 1 Juni 1859 dan dalam bulan Oktober tahun yang sama mereka tiba di Amsterdam.
Nb. Gaissler dalam buku hariannya menulis : sering berulang-ulang menolong para Pelaut yang karena kapal-kapal dagang Jerman dan Belanda yang karam di perairan Papua. Hal menolong bukanlah sesuatu yang mudah, karena membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit dan bersedia untuk merawat, memelihara sejumlah besar pelaut dan pengobatan.

PENYELAMATAN PARA PELAUT JERMAN YANG KAPALNYA KARAM Pada bulan Maret 1857 mereka mendengar berita tenteng karamnya Kapal dagang Jerman yang terdampar pada batu karang di kawasan Teluk Cenderawasih, untuk menyelamatkan anak buah Kapal demi terhindar dari perbudakan dan kematian sebab ada tiga (3) orang anak buah kapl itu sudah dibawa ke Windesi. Ottow dan Gaissler menyiapkan barang-barang dagang untuk barter dan uang menyewa sebuah perahu dengan 22 orang laki-laki tenaga pendukung, setelah melalui suatu perundingan untuk menentukan siapa diantara mereka yang harus berangkat, sebab seorang harus tinggal di Mansinam, akhirnya membuang undi, dan pilihan jatuh pada Gaissler. Sehngga ia yang berangkat dengan para pendayung, dan pada tanggal 11 April 1857 ia berhasil menyelamatkan dan menebus 3 orang awak kapal sedang yang seorang berada di tempat yang jauh, namun setelah mendengar berita bahwa ia telah meninggal, para bajak laut sudah mengambilnya dan membunuh dengan kejam di semenanjung Wandamen. Leh sebab itu Gaissler dan para pendayungnya segera berangkat kembali ke Mansinam. Ketiga awak kapal yang diselamatkan itu, mereka dalam keadaan sakit dan terus dirawat oleh Ottow dan Gaissler. Sesudah mereka sembuh lalu mereka berangkat dengan kapal dan tiba dengan selamat di tanah air mereka (Jerman).
Sebagai tanda terima kasih kepada enyelamatan anak buah kapal Jerman dimana Pemerintah Belanda (Den Haag) mendengar bagaimana kedua missionaries  Ottow dan Gaissler mempertaruhkan nyawa dan milik mereka untuk menyelamatkan anak-anak buah kapal yang karam itu, kepada Ottow dan Gaissler diberikan hadiah kepada masing-masing sebesra 250 Gulden kepada mereka. Dalam agenda Gaissler menulis, Mereka merasa bersukacita bahwa sekarang mereka tidak perlu lagi hidup semata-mata dari uang persembahan Missi/Badan Zending, tetapi dapat hidup dari gaji Pemerintah Belanda, sehingga mereka lebih leluasa dalam menjalankan tugas.

MANOKWARI KOTA ADMINISTRATIF (PEMERINTAH) TERSULUNG DI TANAH PAPUA Kebupaten Manokwari adalah Kabupaten tersulng di Tanah Papua yang amat penting dalam sejarah peradaban dan perubahan budaya orang Papua. Oleh karena Kota Manokwari sebagai pusat penyebaran agama Kristen dan pusat Pemerintahan pertama di Tanah Papua. Kota Manokwari menjadi start Gereja (Zending) dengan Pemerintahan Belanda memulai pembangunan semesta (modern) bagi suku bangsa yang mendiami Tanah Papua. Kemungkinan atas dasar tersebut, orang Biak Numfor mengabadikan/mengungkapkannya dalam etimologi, dari tiga morfem dasar Mnu, Kampung- dan kwar, lama + "dia" itu) Kemudian disebut dengan nama Manokwari yang diartikan dengan ungkapan "Kampung yang didahulukan, tertua, terlama", dimana dimulainya sebuah peradaban dan budaya asing dalam konteks terang penyebaran Kekristenan tentang Injil Kristus. Sejarah dengan mencatat sejak Tokoh Legendaris berkebangsaan Jerman yang pertamakali bergabung dalam missi Pekabaran Injil Zending (Goissner) Jerman (Heldering Nederland) di Tanah Papua melalui utusan Missionaris Ottow dan Gaissler yang mulai menginjakkan kaki di Pulau Mansinam tanggal 5 Februari 1855 dengan doa Sulung mereka, "Dengan Nama Allah kami menginjak Tanah ini". Menandakan bahwa pembangunan yang modern di Tanah Papua sudah dimulai sejak Injil Kristus atau penyebaran Agama Kristen mulai masuk dan menerangi kegelapan dan kekafiran orang Papua Tempo itu di Pulau Mansinam Manokwari. Oleh sebab itu, siapapun tidak dapat menyangkal bahwa hasil karya besar yang diperjuangakan dengan susahpayah oleh para Pekabar Injil dulu ituah yang setiap suku bangsa dari manapun yang mendiami bumi Telik Cenderawasih Tanah Papua boleh menikmati dan alami saat ini di era demokrasi-otonomisasi ini dalam berbagai bidang sektor pembangunan di Tanah Papua.
Dokumen sejarah Pekabaran Injil juga dapat mencatat bahwa atas jasa, kerja keras dan perjuangan gigih yang panjang yang dilakukan oleh zending (Gereja) terus menerus dan mendesak pemerintah Belanda untuk segera menetapkan dan melaksanakan pemerintahan secara definitive d Tanah Papua untuk menghentikan perlakuan yang betahun-tahun dilakukan oleh Kesultanan Tidore dan Pemerintah VOC dalam bentuk pembunuhan-perampasan harata benda-penjualan-pembelian budak pembakaran kampong-kampung penduduk orang Papua dan sesama etnis Papua saat itu. Oleh sebab itulah kota Manokeari pada tanggal 9 November 1896, Pemerintah Belanda secara definitive atau resmi memulai sistim Pemerintahan di Tanah Papua. Dengan demikian secara resmi di Kota Manokwarilah pihak Pemerintah Belanda ertama kali memulai system pemerintahannya untuk membangun orang Papua menuju kehidupan modern.

Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua (Anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) Badan Pekerja Klasis Manokwari

Wednesday, 7 May 2014

Planetshakers - You're All I Need (lyrics)