Negeri Adat Suku Wemale Patalima di Seram Utara
a. Peristiwa Konflik
Konflik
19 Januari 1999 tidak berdampak di negeri Horale dengan negeri-negeri
tetangganya, namun tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang dapat
menimbulkan konflik dengan negeri tetangga, tapi bisa diatasi dengan
kearifan lokal pemerintah yang ada pada saat itu dengan pendekatan
kekeluargaan / musyawarah. Dibawah ini beberapa peristiwa konflik yang
terjadi antar masyarakat negeri Horale dengan Saleman.
· Pada
tahun 1983 permasalahannya adalah Muhamad Nur kerja bapak Ed punya
tanah dalam kerja itu diusahakan kayu tapi mereka tidak memberikan maano
kepada bapak Ed sehingga beliau menahan kayu-kayu tersebut. Dia marah
tidak setuju atas tindakan yang dilakukan bapak Ed karena kayu tersebut
sudah ada pembeli yang akan mengambil kayu tersebut, lalu dia mengambil
tindakan terhadap bapak Ed, dari Saleman dia sudah keluarkan kata-kata
yang kurang enak seakan-akan mau cari masalah terkait dengan kayu
tersebut. Dia datang ke Saka dengan Usman mama nyai, Sam Haloatuan dan
singgah dirumah bapak Ti punya rumah untuk minum sopi, bapak Opi masuk
kedalam rumah lalu memukul Muhamad Nur dan diikuti oleh beberapa pemuda
yang masuk kemudian memukul dia juga. Setelah dipukul kemudian mereka
melarikan diri kembali ke Saleman, kebetulan jarinya Usman luka kena
parang dan dia melabor darah tersebut dimukanya lalu dia lapor ke
Saleman bahwa orang Horale potong dia. Selanjutnya masyarakat Saleman
menyerang ke Horale pada siang itu juga, lalu membakar dapur, merusakkan
tape, potong pisang-pisang milik bapak Onco, pada saat penyerangan itu
negeri Horale sangat sunyi karena anak-anak mudanya sedang berada di
Saka untuk naik cengkih, yang ada pada saat itu hanya bapak Cau (mantan
raja), bapak pendeta Pei dan pendeta Sabono, pada hari itu bapak Piet
sudah mau panah para penyerang itu, cuma busurnya patah sehingga tidak
jadi, itu menurut mereka karena Tuhan tidak berkenan karena kalau itu
terjadi bisa menimbulkan konflik yang lebih besar lagi, setelah puas
dengan tindakannya mereka kembali ke Saleman. Bapak pendeta,
purnawirawan brimob, bapak Kerlely (babinsa) waktu itu, lalu bapak
Yesayas (waktu itu ketua AMPI) dan bapak Tobias Patalatu (pejabat raja
Horale) membuat penyelesaian dengan orang Saleman terkait masalah itu.
· Kejadian
ini pada tahun 1987 pada masa pemerintahan pejabat raja bapak Tobias
Patalatu dan terjadi di Saka yang waktu itu belum menjadi kampong.
Kejadiannya adalah Hais Makatita dan Baco Haloatuan berada di Saka dan
mereka berdua dalam keadaan mabuk turun hendak kepantai dalam perjalanan
mereka berdua melihat ada bambu (bangkawang atap) yang terikat
dipinggir jalan kemudian Hais memotong bambu-bambu tersebut sehingga
berserakan dijalan, melihat bambu-bambunya yang berserakan dijalan bapak
Olop Rumapusule mencari tahu siapa yang melakukan hal itu dan oleh
masyarakat yang melihat kejadiannya melaporkan bahwa yang buat itu
adalah Hais, maka bapak olop mencari dia dipantai dan memukulnya dengan
kayu buah sampai babak belur. Kemudian Hais dan Baco kembali ke negeri
Saleman dan melaporkan kepada keluarga besar mereka bahwa mereka berdua
dipukul oleh orang Horale. Karena mendapat laporan begitu masyarakat
Saleman sudah bersiap untuk melakukan penyerangan ke Horale namun hal
itu dihentikan oleh bapak Muh Rum Haloatuan, beliau mengatakan, “katong
seng tau permasalahan yang terjadi disana sebaiknya katong tanya bae-bae
langsung kepada Hais dan Baco apa yang sebenarnya terjadi disana,
karena seng mungkin ada apa-apa yang dorang dua buat sampe dapa pukul
seperti ini”. Dipanggilkan Hais dan Baco, tapi yang menghadap hanya Baco
lalu ia menceritakan kronologis kejadian yang sebenarnya. Di Horale
selaku pejabat Raja maka bapak Tobias memanggil bapak Olop untuk
sama-sama ke Saleman untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi itu.
Dalam perjalanan ke Saleman sampai di SMP dekat pekuburan kita bertemu
dengan bapak Raja tua (makatita), lalu kita kerumah bapak sekertaris
negeri yang sudah menunggu kita, tujuan kita ke Saleman untuk
menyelesaikan persoalan ini secara adat / kekeluargaan. Dipanggil Hais
dan Baco untuk menghadap tapi mereka tidak datang, pada saat itu ada
Raja tua, pejabat raja, saniri negeri dan Babinsa sehingga diselesaikan
masalah tersebut.
· Pada
tanggal awal tahun 1998, berawal dari masyarakat Horale melakukan
pameri pembersihan lahan untuk perkebunan rakyat, lalu dilakukan juga
oleh masyarakat Saleman untuk membatasi luas lahan masyarakat Horale
namun dilakukan diatas lahan milik bapak Calo, akhirnya bapak Calo bikin
permasalahan, tapi ada oknum anggota Brimob yang tanam patok di lahan
itu dan dia membuat papan dengan tulisan” tanah ini milik Sertu Ismail
Olat, bapak Yesayas Maatukusailemane bilang” sejak kapan kesatuan punya
tanah disini, beliau mau laporkan masalah ini kekesatuan yang
bersangkutan namun hal itu dicegah / diingatkan oleh bapak Yan Syauta
(camat), beliau katakan masalah antar dua negeri ini sudah cukup jangan
buat masalah dengan Sertu Ismail lagi, menurut beliau kalau dilapor
ulahnya itu bisa-bisa dia akan kena sanksi dari atasannya bahkan bisa
dipecat, bapak Yesayas kembali berpikir betul juga nanti kalau dia
dipecat bagaimana kehidupan keluarganya. Tapi satu ketika diatas
katinting dari Saleman hendak ke Saka dia lepas 2 kali tembakan di muka
negeri Horale, kemudian ada yang melaporkan peristiwa itu kepada
komandannya dan dia dipanggil dan dikenakan sanksi. Terkait dengan
permasalahan tanah tadi bapak Yesayas selaku pejabat raja negeri Horale
meminta kesedian dari raja Saleman untuk membicarakan itu secara
kekeluargaan namun beliau tidak bersedia, kemudian bapak Yesayas
mengusulkan penyelesaian dengan melibatkan Muspika di gedung Siwalima
kantor kecamatan di Wahai, sesampainya disana diberikan kesempatan
bicara namun bapak raja Saleman mau supaya persoalan ini ditempuh
melalui jalur pengadilan, selaku pemerintah negeri kami siap
menerimanya, bukti-bukti yang diperlukan disiapkan dan sidang
berlangsung di pengadilan negeri Masohi cuma terhenti karena terjadi
konflik di kota Ambon yang kemudian berdampak ke Masohi. Sebenarnya
permasalahan antara Horale dengan Saleman selama ini bisa diselesaikan
secara adat, cuma untuk kasus ini karena mereka mau lewat jalur
pengadilan negeri maka kami siap meladeni mereka.
· Pada
bulan Juni tahun 1999 tanggalnya tidak pasti, bermula dari pelarangan
dan percekcokan mulut antara ibu Sophia Litalesy istri dari bapak Ais
dengan anak raja Saleman yang pada waktu itu datang mengangkat kerikil
di Waihuta (kali Huta) hal itu menimbulkan perkelahian pemuda kedua
negeri yang menjurus kepada masyarakat kedua negeri. Pada saat itu bapak
Yesayas Maatukusailemane (Pejabat raja Horale) sedang berada di Saleman
dengan raja Saleman untuk mau ke Masohi untuk panggilan rapat. Melihat
masyarakat kedua negeri sudah dengan parang maka beliau turun dari mobil
dan selanjutnya menggunakan katinting menuju ke negeri Horale,
sesampainya disana negeri sudah kosong, anak-anak dan ibu-ibu sudah
mengungsi, beliau bertemu dengan ibu pendeta Pentury di sekolah, 4 orang
Saniri Negeri, kemudian menggunakan HT beliau menghubungi petugas
pengamanan dari Saka dan satu orang petugas polisi dari Seram Timur yang
bertugas di Saka untuk bersama-sama pergi ke Saleman, namun mereka
bilang tidak berani karena kasus yang terjadi ini sama dengan yang
terjadi di Ambon dimana yang berhadapan itu putih melawan merah, cuma
bapak Yesayas meyakinkan mereka supaya sama-sama ke Saleman dengan
taruhan nyawanya untuk menyelesaikan masalah ini. Beliau mengumpulkan
Saniri negeri untuk mengajak bersama-sama pergi ke Saleman tapi mereka
takut mengingat kondisi konflik yang terjadi di kota Ambon, akhirnya
dengan ditemani oleh bpk. Nick Rumalange (sekertaris negeri), ibu
Pendeta Pentury, bapa Raja sekarang (Latumapina) dan petugas polisi
mereka berangkat dengan katinting menuju ke Saleman. Sesampainya di
depan negeri Saleman menurut beliau, itu masyarakat sangat banyak dengan
menghunus parang, panah dan bom mau maju mati, kalau mundur bisa
menimbulkan konflik juga, akhirnya beliau tanya kepada Nona Pdt,
bagaimana ibu, jawab ibu pdt, maju saja lalu beliau tanya untuk petugas
polisi, jawab mereka, mereka juga kaget karena bukannya putih melawan
merah tapi merah melawan merah karena mereka juga memakai berang merah akhirnya kita maju saja.
Setelah
katinting merapat dan mereka turun, beliau melihat yang jemput itu
bapak Kapitang Muh Rum Rumaolat (alm) beliau memakai salempang pinggang
kain hitam, dan beliau mengatakan adik pejabat sudah jatuh ditanah, lalu
pejabat Horale balik menjawab kalau bisa belah dada ini apakah hitam
hati ini, lalu kapitan suruh semuanya mundur, cuma yang masih mengamuk
dengan samurai lengkap dengan bom adalah Murad Olat (orang Sepa), dia
bilang “kalau orang Horale bermain parang sebagai anak adat saya juga
bisa” lalu dijawab oleh bapak pejabat Horale “kalau ale bisa, kita juga
bisa” lalu kapitan melerai dan membentak Murad untuk stop berdebat dan
menunjukkan aksinya. Negeri Sepa ini punya hubungan pela dengan negeri
Seruawan, lalu ibu pendeta Pentury bilang, “ Pela jangan bilang bagitu,
ale pela beta juga pela, ingatang”. Aparat polisi yang ikut serta
bersamaan pada saat itu kelihatan sangat takut, karena taruh nyawa
dimuka.
Setelah
itu raja Saleman mengumpulkan tokoh adat, tokoh agama, saniri negeri
dan beberapa purnawirawan yang telah pensiun namun menggunakan pakaian
dinas lengkap. Dihadapan mereka semua pejabat negeri Horale bilang yang
buat pelarangan untuk ambil kerikil di Waihuta sehingga menimbulkan
masalah antara dua negeri ini bukan orang Horale, ibu itu hanya
kebetulan kawin di Horale, jadi yang bisa melarang beraktifitas di
Waihuta itu hanya orang Horale, coba bapak-bapak pikirkan hal itu
baik-baik, lalu bapak pejabat kembali bilang buat mereka, “
saudara-saudara mau angkat kerikil berapa banyak tidak perlu ijin dari
ibu itu, yang berhak memberikan ijin itu suaminya karena dia itu anak
adat, terus beliau bilang lalu bagaimana persoalan ini? Jawab mereka,
“katong dengar dari bapak pejabat itu berarti katong tidak berbuat
sesuatu” lalu bapak pejabat Horale bilang mau ambil kerikil berapa
banyak? Lalu mereka bilang, “setelah mendengar penjelasan dari bapak
pejabat, hari ini juga katong punya emosi menurun, sebagai masyarakat
Saleman katong akui katong salah. Setelah itu raja Saleman meminta maaf
atas kekeliruan anak-anak yang datang ambil kerikil, jadi apa yang
katong dengar, ada pejabat, tokoh adat, pendeta serta tokoh masyarakat
dan masyarakat itu selesai, katong selesaikan dan tidak berbuat seperti
itu lagi dan kalau mau melakukan sesuatu harus melalui jalur, karena ini
adat dan kalau perlu sesuatu harus bicarakan dan minta ijin dari
pejabat / raja dan kalau mereka tidak ada ditempat hubungi saniri negeri
setempat. Dalam perjalanan pulang ke negeri Horale dengan katinting
anggota polsek bilang, “bapak sebagai pemimpin negeri Horale punya nyali
sangat besar, kalau menurut kita tadi itu tidak bisa datang ke Saleman,
alasannya karena masalah yang dihadapi itu seperti masalah yang terjadi
di Ambon sekarang ini kalau datang pasti dibunuh, ada kesan bagi mereka
(polisi) bahwa ini bukan putih melawan merah tapi mereh melawan merah
yang artinya ada hubungan adat istiadat. Setelah sampai di rumah bapak
pejabat membuat laporan ke Muspika kecamatan Seram Utara, mereka
menyalahkan bapak pejabat Horale karena tidak berkoordinasi dengan
mereka dan menurut mereka untunglah tidak terjadi apa-apa dengan mereka
yang pergi ke Saleman.
· Pada
bulan April 2006 bapak Piet dengan bapak raja ke Wahai dan bermalam di
Pasahari kemudian dipanggil oleh bapak Ulis Makatita lalu beliau
katakan, bapak tidak diundang untuk proyek Jati Mas, lalu beliau
sebutkan nama-nama negeri yang dapat proyek tersebut salah satunya
Saleman, lalu itu menjadi pertanyaan, kalau Saleman dapat mengapa Horale
tidak, padahal Horale wilayah petuanannya besar, lalu beliau arahkan
bapak raja untuk membuat surat, pertanyakan itu ke dinas Kehutanan
kabupaten Malteng, mengapa ada proyek penanaman anakan Jati Mas di
wilayah Seram Utara oleh dinas Kehutanan kabupaten Maluku Tengah untuk
negeri-negeri adat tapi Horale tidak diikutsertakan.
Sesuai
kesepakatan rapat hari itu, pada tanggal 5 Mei 2006 itu sudah harus
dilakukan pembongkaran. Proyek ini menjadi tanda tanya besar sebenarnya
proyek ini siapa yang punya akhirnya, bapak Yesayas dan ibu pendeta
punya suami ke dinas Kehutanan tingkat I untuk tanyakan hal ini, tapi
jawab mereka proyek itu bukan proyek mereka, mereka bilang coba tanya ke
dinas Kehutanan tingkat II, kembali bapak Yesayas, bapa raja dan saniri
negeri datang ke dinas Kehutanan kabupaten Malteng, mereka mengatakan,
mereka yang punya proyek itu dan pemerintah negeri Horale mengatakan
lokasi penanaman Jati Mas disekitar jalan SS itu tanahnya milik petuanan
negeri Horale, mereka menjawab, iya, karena kita mau bagaimana lagi,
proyek harus jalan. Kemudian pemerintah negeri Horale lapor ke DPRD
kabupaten dan ikut sharing dengan komisi A, ternyata komisi A mau
memanggil dinas kehutanan sampai sekarang tidak pernah di lakukan,
sedangkan Saleman yang adukan masalah penyerobotan tanah oleh orang
Horale Pada hari Kamis tanggal 24 Maret kemarin, langsung komisi A
merespons dengan cepat, tapi kalau kita punya masalah tidak pernah di
tanggapi dengan baik. Jadi pemikiran kita mungkin mereka sudah satu
dalam kata dan tidak ada keadilan buat orang Horale lagi di kabupaten
ini. Sifat orang Horale yang bisa meredam amarah artinya setiap negeri
itu punya tapal batas antar negeri, seperti Saleman, Horale, Wailulu, di
dekat kali itu orang Saleman bikin penyerobotan tanah tanpa minta ijin
dari orang Horale maupun Wailulu, itu kalau sebagai negeri adat tidak
boleh mencuri, artinya mau datang ke negeri adat orang lain saja harus
minta ijin apalagi bercocok tanam harus minta ijin bukan ikut mau
sendiri, dengan demikian ketika terkait dengan DPRD kabupaten turun,
karena orang Saleman melaporkan bahwa kita telah merusak kebun mereka,
tapi selama konflik dari 2006-2008 kita tidak pernah bikin tanaman
mereka rusak, jangankan jauh disana sedangkan dekat disini saja tidak.
Padahal itu diwilayah petuanan kita yang dekat dengan negeri Wailulu,
namun kita dilapor membuat kerusakan di kebun mereka.
Kembali
ke masalah Jati Mas, kemudian pemerintah negeri Horale menyurati pihak
dinas Kehutanan kab. Maluku Tengah dengan tembusannya kepada Polres Kab.
Malteng dan GPM supaya dibatalkan proyek tersebut di Saleman karena
penanaman akan dilakukan di wilayah petuanan negeri Horalen. Setelah
surat tersebut disampaikan satu minggu tidak ada respons dari
pihak-pihak terkait, malah terjadi pembongkaran lahan dan kebun-kebun
masyarakat Horale untuk penanaman Jati Mas dan Jambu Mete dan juga untuk
lahan pribadi oleh orang Saleman, untuk menghalangi supaya mereka tidak
membuka lahan lebih luas lagi maka masyarakat Horale kemudian lebih
mengaktifkan kegiatan lagi di kebun-kebun mereka dan membuka lahan baru
juga untuk membatasi pergerakan orang Saleman.
Puncaknya,
karena merasa diabaikan dengan laporan yang disampaikan kepada pemda
kab. Maluku Tengah maka atas inisiatif sekelompok pemuda negeri Horale
sore harinya itu mereka mencabut anakan Jati Mas dan Jambu Mete yang
ditanam orang Saleman, ada sekitar 20.000 anakan yang dicabut pada saat
itu.
Setelah
seminggu berselang dari aksi pencabutan yang dilakukan, orang Saleman
datang untuk mengecek anakan yang ditanam itu sudah tidak ada lagi,
kemudian mereka menebang semua pohon kelapa dan pisang milik orang
Horale yang berada di tepi jalan sampai bersih tanpa diketahui oleh
orang Horale. Kebetulan mantunya bapak raja yang baru datang dari Masohi
melihat pohon-pohon tersebut sudah berserakan di tepi jalan dan
melaporkan hal tersebut kepada Raja di Saka, tepatnya pada hari Minggu
tanggal 9 Juli. Kemudian Bapak Raja dan Bapak Kaur Bapak Ais datang
mengecek apakah kejadian itu benar terjadi dan memang terjadi seperti
apa yang dikatakan oleh mantunya. Besok paginya hari Senin tanggal 10
Juli Raja Horale mau ke Masohi untuk memberikan laporan. Pada waktu itu
anak-anak Horale juga mau balik untuk sekolah di Waipia, di terminal
ketika lagi duduk-duduk masyarakat mendengar sudah kacau. Anak-anak
Saleman yang menaiki pok-pok hendak ke Saka mengundang anak-anak Horale
bahwa kalau mereka jagoan ikut mereka (orang Saleman) ke terminal
(Saka). Mengetahui hal itu maka pemuda Horale yang berada di Saka
kemudian mengamuk dan membakar walang milik orang Saleman, karena apinya
sangat besar sehingga merambat ke kios bensin dan solar milik orang
Bugis dan membuat kebakaran lebih besar lagi sehingga rumah-rumah yang
ada disekitar tempat itu ikut juga terbakar hal itu terjadi jam 8 pagi.
Melihat hal itu maka anak-anak Saleman yang masih berada di atas
katinting kembali ke negeri mereka dan kemudian melakukan aksi
pembalasan dengan melakukan penyerangan pada jam 9 pagi ke Horale. Dalam
aksi penyerangan itu pemuda Horale sudah mengetahuinya kemudian
melakukan persiapan dan menunggu mereka diperbatasan kedua negeri. Dalam
insiden tersebut diperkirakan melibatkan ratusan masyarakat Saleman dan
setelah ada korban dipihak Saleman maka mereka secara serentak kembali ke negeri mereka.
Tanggal
13 Juli dibuat perjanjian damai dan pernyataan kesepakatan damai antar
tokoh masyarakat kedua negeri yang disaksikan oleh Bupati Maluku Tengah,
Ir Abdulah Tuasikal dan Kapolres Maluku Tengah, AKBP Herman Agus
Purnomo. Aparat yang ditempatkan untuk menjaga keamanan di Saka dan
Horale berjumlah 21 orang dari brimob Maluku Tengah yang bertugas selama
2 minggu dari hari kejadian setelah itu yang bertugas hanya anggota
polisi biasa dari Polres Maluku Tengah dengan jumlah 2 orang tiap
negeri.
Setelah
kejadian itu kehidupan masyarakat kedua negeri seperti biasa lagi orang
saleman mulai datang ambil kelapa dikebun-kebun mereka dan mulai
berinteraksi dengan orang Horale, cuma butir kesepakatan damai yang
menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten Maluku Tengah untuk
memediasi perdamaian dari sisi nurani dan secara adat tidak dilakukan,
dalam kesepakatan damai itu akan dibentuk tim dari Kabupaten yang akan
turun untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat kedua negeri tapi
hal itu tidak dilakukan. Kerugian yang dialami, rumah 3 unit, walang,
motor 3 unit, mobil kijang, 1 buah speedboat, 2 mesin speedboat, cengkih
7 ton milik orang bugis. Menurut masyarakat Horale, mereka diperlakukan
tidak adil didepan hukum alasannya orang Saleman yang pertama
menimbulkan kekacauan ini tapi salah satu dari mereka tidak ada yang di
tahan apalagi sampai diproses hukum, tapi masyarakat Horale yang membela
diri dan negerinya karena di serang orang Saleman ditahan sebanyak 23 orang
di polres Maluku Tengah, kemudian 5 orang dipulangkan dan 18 orang
diproses lanjut ke meja hijau dan menjalani hukuman kurungan selama 6
bulan dan ada juga yang 9 bulan. Yang anehnya ketika dalam pemeriksaan
maupun dalam sidang ketika ditanya oleh penyidik, jaksa dan hakim awal
permasalahan kasus ini dan dijawab oleh masyarakat Horale yang ditahan,
awalnya adalah dari program penanaman Jati Mas yang dilakukan di wilayah
petuanan negeri Horale tapi hal itu tidak ditanggapi oleh mereka dan
menurut mereka lebih difokuskan pada peristiwa tanggal 10 Juli dan
menurut penilaian mereka masayarakat Horale dalam kasus ini pasti
melibatkan orang nomor satu di kabupaten Maluku Tengah.
Ada
satu solusi dalam rangka penyelesaian Horale – Saleman ini harus
dilakukan pertemuan antar marga lalu bicara dalam koridor orang basudara
dari pertemuan itulah baru ditemukan kebenaran. Kalau mau libatkan
marga pendatang lainnya di Saleman maka itu susah.
· Sebelum
kejadian tanggal 2 Mei 2008 itu hubungan dan interaksi masyarakat
Horale dengan Saleman baik-baik saja, aktivitas berlangsung seperti
biasanya mereka datang untuk timbang cengkih, menjual pakaian dan
mencari ikan di muka labuhan negeri Horale. Kejadian tanggal 2 Mei tahun
2008, masyarakat negeri Horale tidak menyangka akan mengalami musibah
ini. Kata salah seorang pemudanya “kita seperti baru habis terbangun
dari tidur dengan mimpi yang menyakitkan”. Sebelum peristiwa ini tidak
ada peristiwa yang bisa dibilang menjadi pemicu peristiwa ini, memang
ada kabar yang mengatakan bahwa telah terjadi penumpukan massa di negeri
Saleman dengan masuknya orang-orang dari luar negeri Saleman dan sudah
dilakukan beberapa kali rapat yang dilakukan. Tanggal 29 April 2008
anggota Polsek Wahai datang ke Horale untuk mengecek keadaan negeri
Saleman dan Horale karena mungkin mereka sudah mendengar isu mau
dilakukan penyerangan tapi mereka juga merahasiakan hal itu dari kami
dan alasan mereka datang itu untuk melakukan swiping minuman keras dan
HUT RMS, sesampainya mereka dari Horale ke Saka kebetulan disana ada
seorang petugas polsek Wahai (Axel Pentury) yang ditugaskan untuk jaga
di Saka dia kemudian di suruh untuk kembali ke Polsek Wahai.
Siang
hari tanggal 1 Mei 2008 ada syukur kenaikan, masyarakat semuanya ada,
tidak melakukan aktivitas apa-apa, tanggal 2 Mei sekitar jam 4 pagi hari
masyarakat terkejut, bangun dari tidurnya ketika mendengar 3 kali bunyi
tembakan dan mereka menyadari bahwa mereka telah diserang oleh orang
Saleman. Dalam keadaan itu masyarakat masing-masing lari menyelamatkan
diri ke hutan dibelakang negeri. Penyerangan dilakukan dari berbagai
penjuru negeri Horale dari arah perbatasan kedua negeri disebelah Timur
ada dua regu penyerangan satu dari arah hutan dan satu dari pantai,
kemudian dengan menggunakan speedboat dari arah laut dan dari arah Barat
negeri Horale. Penyerangan dilakukan bukan hanya di negeri Horale tapi
juga dilakukan di dusun Saka negeri Horale berselang 15 menit dari
penyerangan yang dilakukan di negeri Horale. Di Saka masyarakat juga
terkejut ketika mendengar bunyi tembakan itu dan mulai keluar dari rumah
untuk menyelamatkan diri mereka. Akibat penyerangan yang dilakukan ini
menimbulkan korban jiwa 4 orang, 2 orang di Horale yakni bapak E. Unwaru
(84) dan Yoseph Latumahina (30) sedangkan di dusun Saka adalah Ny. W.
Pattiasina (47) dan Yola Pattiasina (6). Kerugian material
lainnya adalah sebanyak 92 buah rumah yang terbakar, 2 rumah ibadah, 1
buah BK, gedung SD Inpres Horale yang dirusak, 1 kantor negeri dengan
balai pertemuan yang dibakar serta puluhan mesin dan body ketinting yang
dirusak dan dibakar, dan ganti rugi terkait dengan musibah ini terhadap
rumah yang dibakar dilakukan oleh pihak provinsi Maluku tidak ada dari
pemerintah Kabupaten.
Setelah
habis membakar seisi negeri Horale dan dusun Saka maka para penyerang
itu kembali ke negeri Saleman dengan menggunakan speedboat dan katinting
sekitar jam 6 pagi. Setelah
merasa aman maka masyarakat Horale kemudian turun ke negeri mereka untuk
mematikan api di beberapa rumah yang masih terbakar, dan masyarakat
menemukan banyak selongsong peluru dan serpihan bom dan juga jerigen
berisi minyak tanah yang dicampur bensin serta panah-panah wayer, kopi
yang diisi dalam botol dan nasi-nasi bungkus yang berserakan.
Aparat keamanan dari polres Malteng diturunkan sekitar jam 10 pagi disaat penyerangan sudah selesai dilakukan.
Untuk
menyelesaikan masalah penyerangan, pembakaran, dan pembantaian
masyarakat dan negeri Horale yang dilakukan oleh orang Saleman pada
tanggal 2 Mei 2008 kami serahkan kepada pihak aparat keamanan untuk
segera mengusut tuntas tapi kenyataannya hanya beberapa yang ditangkap
sedangkan ratusan lainnya yang ikut serta dalam aksi tersebut tidak
ditangkap dan anehnya mereka hanya beberapa bulan saja menjalani hukuman
padahal sesuai dengan UU NO 21 tentang Darurat yang
digantung dalam bentuk spanduk di negeri Horale oleh aparat kepolisian
menyatakan barang siapa yang menyimpan, memiliki dan menggunakan
bahan-bahan peledak seperti bom, senjata api, munisi diancam dengan
hukuman 15 Tahun penjara. Disini kami melihat pemerintah dan aparat
hukum tidak adil kepada kami dengan melakukan pembiaran
bagi pelaku kejahatan kemanusian berbuat seenaknya dan hanya diganjar
hukuman yang sangat ringan, kalau dibandingkan dengan kasus 10 Juli
2006, dan untuk masalah wilayah petuanan kami sudah mengusulkan supaya
diselesaikan secara hukum adat pada tahun 2006 dengan melibatkan
Latupati Seram Utara dengan ketuanya raja negeri Sawai, beliau siap dan
juga kami negeri Horale siap tapi mereka dari Saleman tidak bersedia,
mereka lebih memilih melalui jalur hukum di pengadilan negeri Masohi.
Menurut masyarakat Horale mereka (Saleman) takut untuk melalui jalur
hukum adat karena menyangkut adat tidak bisa direkayasa dan
diputarbalikkan fakta dan kebenaran sedangkan kalau menurut hukum formal
negara segala sesuatu bisa diatur apalagi jika ditangani oleh para
hakim yang bukan merupakan masyarakat adat Maluku.
Menurut
salah seorang pemuda negeri Horale dalam persidangan yang dilakukan,
ketika dimintai keterangan sebagai saksi, raja negeri Sawai yang juga
ketua Latupati Seram Utara, beliau mengatakan didepan sidang pengadilan
negeri, “bahwa secara ukuwah saya mengenal Saleman tapi secara adat saya
katakan sejujurnya saya tidak kenal Saleman”.
Untuk
kasus penyerangan pada tahun 2008 ini langkah konkrit penyelesaian
masalahnya sudah dilaksanakan melalui jalur hukum dan upaya mediasi
untuk perdamaian kedua negeri ini juga belum dilakukan karena belum ada
pihak ketiga yang mau melakukannya, dan masyarakat kedua negeri ini juga
lebih menunggu hasil putusan hukum yang sedang dijalani di tingkat
Mahkamah Agung. Walaupun demikian masyarakat Horale secara berbesar hati
siap untuk duduk satu meja dengan masyarakat Saleman untuk membicarakan
perdamaian.
Menurut raja negeri Horale bapak Herman Latumapina, “Apa yang terjadi itu adalah kehendak Tuhan, dan segala sesuatu yang merupakan kehendak Tuhan itu, akan indah pada akhirnya ”.
Sumber:
By Revo Gaspersz
http://negerihorale.blogspot.com/2011/05/sejarah-konflik.html
Hoiii pambodoh basar, se carita asal carita saja, petuanan negri horale tidapo, woee bangun! Jang tidor trs la sg tau adat, kamong dg sawai tu sama, Sama2 buat karangan carita, sg tau malu orang saleman ksih kamong tampa tinggal bru mau putar balik fakta, woee se klw jadi Sutradara film indosiar boleh pas, pambodoh basar 1 kapala, kambeng ee!!
ReplyDeleteManusia bodo sapa ni??
Delete