Neuralink - Apakah Antarmuka Otak-Komputer Membawa Kita Ke Dalam Utopia Teknologi?

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Nilai Pasar Nvidia, AI Kesayangan, Melonjak Mendekati Apple

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

PREVIEW PERTANDINGAN: MAN CITY V UNITED WOMEN

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Apakah BRICS yang Diperluas Akhirnya Melengserkan Dolar dengan Bantuan Kripto?

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

APAKAH YESUS TUHAN? Mari Kita Cari Tahu!

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday, 31 December 2017

Perang Enam Hari (The Six Day War 1967)


Perang Enam Hari


   Perang Enam Hari berlangsung pada bulan Juni 1967. Perang Enam Hari bertempur antara 5 Juni dan 10 Juni. Israel membela perang tersebut sebagai usaha militer preventif untuk melawan apa yang Israel lihat sebagai serangan yang akan segera dilakukan oleh negara-negara Arab yang mengelilingi Israel. Perang Enam Hari diprakarsai oleh Jenderal Moshe Dayan, Menteri Pertahanan Israel. 

   Perang melawan Suriah, Yordania dan Mesir. Israel percaya bahwa hanya masalah waktu sebelum tiga negara Arab mengkoordinasikan sebuah serangan besar-besaran terhadap Israel. Setelah Krisis Suez 1956, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk sebuah kehadiran di Timur Tengah, terutama di daerah perbatasan yang sensitif. Perserikatan Bangsa-Bangsa hanya ada di sana dengan kesepakatan negara-negara yang bertindak sebagai tuan rumah untuk itu. Pada bulan Mei 1967, orang-orang Mesir telah memperjelas bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak lagi diinginkan di wilayah Suez. Gamal Nasser, pemimpin Mesir, memerintahkan konsentrasi pasukan militer Mesir di zona Suez yang sensitif. Ini adalah tindakan yang sangat provokatif dan Israel hanya memandangnya dengan satu cara - bahwa Mesir bersiap untuk menyerang. Orang-orang Mesir juga telah memberlakukan blokade angkatan laut yang menutup Teluk Aqaba untuk pengiriman Israel. 


   Alih-alih menunggu untuk diserang, Israel meluncurkan sebuah kampanye militer yang sangat sukses melawan musuh yang dianggapnya. Pasukan udara Mesir, Yordania, Suriah dan Irak semuanya hancur pada tanggal 5 Juni. Pada tanggal 7 Juni, banyak tank Mesir telah hancur di Gurun Sinai dan pasukan Israel mencapai Terusan Suez. Pada hari yang sama, seluruh tepi barat Sungai Yordan telah dibersihkan dari pasukan Yordania. Dataran Tinggi Golan ditangkap dari Suriah dan pasukan Israel bergerak sejauh 30 mil ke Suriah sendiri. 

    Perang tersebut merupakan bencana bagi dunia Arab dan untuk sementara melemahkan orang yang dipandang sebagai pemimpin orang Arab - Gamal Abdul Nasser dari Mesir. Perang tersebut merupakan bencana militer bagi orang-orang Arab tapi juga merupakan pukulan besar bagi moral orang Arab. Inilah empat negara Arab terkuat yang secara sistematis dikalahkan oleh satu negara saja. 


    Keberhasilan kampanye pasti mengejutkan orang Israel. Namun, ini juga memberi mereka masalah besar untuk membuktikan masalah besar bagi pemerintah Israel selama beberapa dekade. Dengan menangkap Sinai, Dataran Tinggi Golan dan Tepi Barat Sungai Yordan, orang-orang Israel telah merebut daerah mereka dengan nilai strategis yang luar biasa. Namun, Tepi Barat juga menampung lebih dari 600.000 orang Arab yang sekarang berada di bawah pemerintahan Israel. Keadaan mereka membuat banyak pemuda Arab bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO, Palestinian Liberation Organisation), sebuah kelompok yang dianggap organisasi teroris Israel. Kebijakan domestik Israel menjadi jauh lebih rumit setelah keberhasilan militer pada bulan Juni 1967.




Sumber : The History Learning 

Friday, 29 December 2017

EDWARD BOK (1863-1930) redaktur

EDWARD BOK
(1863-1930)
redaktur


Seperti kebanyakan perintis, Edward William Bok membuktikan bahwa teman-temannya keliru. Sebab, mereka mengira bahwa Bok telah kehilangan akal sehatnya ketika pada tahun 1889 Bok meninggalkan perusahaan penerbitan Charles Schribner’s Sons di New York untuk pergi ke Philadelphia dan menerima jabatan sebagai redaktur suatu majalah wanita. Mengapa? Mereka bertanya-tanya dengan penuh keheranan. Mengapa ia membuang karier yang sudah mantap dan jelas memberikan harapan padanya di New York – pusat dunia penerbitan – hanya untuk menjalankan perusahaan yang pasti tidak dapat diharapkan di Philadelphia? Akan tetapi, selama lebih dari tiga puluh tahun menjadi redaktur dan wartawan majalah tersebut, satu kali pun Edward Bok tidak menyesali keputusannya. Ia menjadi seorang perintis besar bagi kewartawanan modern Amerika. Dan ia memperkenalkan kesadaran berwarga negara jenis baru yang jelas sekali ke dalam suasana Amerika.
Masa kanak-kanak Edward Bok membuatnya biasa terhadap setiap perubahan-perubahan mendadak di dalam lingkungannya. Ia lahir di Helder, Negeri Belanda, pada tanggal 9 Oktober 1863. Selama beberapa generasi, keluarganya termasuk golongan terkemuka di Nederland. Akan tetapi, serangkaian investasi yang tidak menguntungkan telah menghapus seluruh kekayaan dan martabat mereka. Pada waktu Edward dan orang tuanya tiba di Amerika pada tahun 1870, harta yang mereka miliki tidak lebih dari barang serba sedikit dan serba tidak lengkap yang mereka bawa. Tuan Bok bukanlah orang yang hanya mengeluh dan menyesali kemalangannya yang telah berlalu. Mengingat bahwa anak-anaknya harus menjadi orang Amerika, maka ia memutuskan bahwa prosesnya lebih baik harus dimulai seketika itu juga. Maka dari itu, enam hari setelah kapalnya merpat di pelabuhan New York, ia membawa kedua anaknya mencari sekolah negeri di Brooklyn. Walaupun sepatah kata pun mereka tidak bisa bicara bahasa Inggris, tapi karena sudah cukup umur, mereka dipaksa untuk masuk ke sekolah tersebut. Hal itu menimbulkan perasaan tidak senang pada anak-anak di kelas lain.
Edward yang berusia tujuh tahun itu bisa menghadapi situasi jelek tersebut dengan sebaik-baiknya. Ia duduk dengan tenang dan pandai mengendalikan nafsunya, menahan derita yang dilontarkan oleh teman kelasnya berupa ejekan dan hinaan. Tapi ia peramah, suka bersahabat dan pintar bergaul. Dan tidak lama kemudian, teman-temannya mengetahui bahwa Belanda cilik itu memepunyai permainan dan sulapan yang menarik dan merupakan hal baru bagi mereka, yang ia bawa dari negeri asalnya. Sebentar saja ia mereka terima sebagai teman.
Kedua Bok kecil itu juga tidak menemui kesukaran dalam berjuang menyelesaikan pekerjaan sekolahnya. Sewaktu masih kecil, ayahnya pernah belajar bahasa Inggris di Negeri Belanda, dan anak-anak itu pun minta diajari pula. Selama beberapa bulan, setiap malam kamar tamu keluarga Bok berubah menjadi tempat kursus di mana bahasa yang mereka pakai berupa bahasa campuran Belanda dan Inggris. Terutama Edward, ia mempunyai bakat bahasa, dan sebentar saja ia dapat memimpin kelasnya menjadi unggul di sekolah negeri tersebut. Akan tetapi, walaupun anak itu murid yang luar biasa, namun ia tidak dapat dipaksakan melakukan sesuatu yang bertantangan dengan cara berpikirnya sebagai keturunan Belanda yang baik. Pada suatu malam ketika sedang diadakan kursus bahasa Inggris, ayahnya melihat tangan Edward luka dan bengkak. Ayahnya bertanya mengapa. Edward kecil itu menjawab terus terang dan singkat, langsung pada persoalannya pada waktu pelajaran menulis, ia disuruh menulis dengan tulisan model Spencer yang saat itu sedang popular. Tetapi Edward tidak mau melaksanakannya. Oleh karena itu ia dipukul oleh pak Guru karena sikapnya yang kepala batu itu.
“Mengapa kamu menolak melaksanakan perintah gurumu?” tanya Pak Bok.
“Karena model tulisan itu tidak baik,” jawab anak itu tetap mempertahankan pendapatnya. “Siapa yang akan menggunakan tulisan lucu yang melingkar-lingkar dan berbelit-belit seperti itu dalam kehidupan sehari-hari?”
Edward kemudian menunjukan bentuk penulisan yang “sederhana” kepada ayahnya. Bentuk dan gaya itulah yang ia tetapkan untuk dipakainya sendiri. Pak Bok tidak berkata apa-apa. Tetapi pagi harinya ia pergi ke sekola bersama dangan anak-anaknya, dan di sana ia berbicara beberapa saat di ruang kepala sekolah. Beberapa minggu kemudian keluarlah buku-buku baru yang harus dipakai oleh seluruh sekolah. Model tulisan yang dipakai dalam buku tersebut adalah model yang diperjuangkan mati-matian oleh Edward. Dalam tahun-tahun selanjutnya, dimana mesin tulis belum banyak dipakai orang, Edward Bok memiliki modal besar untuk mencari pekerjaan, yakni karena tulisan tangannya jelas, bagus bentuknya, dan mudah dibaca.
Walaupun Edward dan kakanya dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan Amerika, tetapi keadaan rumah tangga Bok tidak begitu baik, tidak begitu menggembirakan. Tuan Bok, yang berpendidikan liberal, tidak mempunyai pendidikan khusus yang cukup untuk bekerja. Dan ia selalu memikirkan tentang ketidak mampuannya membiayai keluarga. Istrinya, yang terlalu capek mengurus pemindahan keluarga yang berat dan sulit itu, kini menderita sakit payah.
Kedua anaknya berpendapat bahwa ibunya akan sembuh bila rumahnya bersih. Oleh karena itu, dengan semangat kebersihan khas Belanda, mereka lalu membonkar dan membersihkan seluruh isi rumah sampai setiap sudutnya licin dan mengkilat. Kemudian mereka mulai memikirkan bagaimana caranya mencari uang.
Edward mendapatkan pekerjaan yang pertama secara kebetulan pada suatu pagi, sewaktu ia berjalan di trotoar, ia berhenti di muka etalase sebuah took roti, mengagumi deretan kue dan pastel yang disusun di situ. “Nampak cukup bagus, bukan?” tanya pemilik toko kepada anak kecil yang berdiri di luar kaca. “Ya memang tampak bagus kalau kacanya lebih bersih,” jawab anak Belanda yang jujur itu “Benar,” kata tukang roti mengiakan jawabannya. “Mungkin kau mau membersihkannya?” Anak itu langsung menerima tawaran tersebut dan segera bekerja giat membersihkan semua kaca etalase toko roti tersebut. Ketika melihat etalasenya bersih dan bening, si tukang roti senang sekali dan menyuruh agara Edward membersihkanya lagi setiap Selasa dan Jum’at, setelah pulang sekolah, dengan upah lima puluh sen seminggu.
Tidak lama kemudian, setiap ada waktu luang Edward pergi ke toko roti dan bekerja di sana. Tetapi ia kemudian mempunyai ide lain. Keluarga Bok tinggal dekat jalan raya antara Brooklyn dan Coney Island yang dilalui oleh kereta kuda yang mengangkut penumpang umum. Pada musim panas, kereta-kereta tersebut selalu berhenti di tempat tertentu untuk memberi minuman kudanya. Sementara kudanya minum, biasanya para penumpang laki-laki lalu turun dan pergi ke warung terdekat untuk membeli minum air es. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh wanita dan anak-anak. Dengan demikian mereka terpaksa menahan haus sepanjang perjalanannya sehingga perjalanannya menjadi tidak menggembirakan. Oleh karena itu Edward lalu membeli ember kaleng baru dan beberapa buah gelas, dan kemudian berjualan air es kepada orang-orang yang bepergian naik kereta dan kehausan. Ketika muncul saingan penjualan air es lain, Edward lalu menambahkan air jeruk dan gula sedikit pada minumannya, harganya dinaikkan, dan dengan demikian jualannya tetap laku terus sehingga ia tetap mendapat uang.
Sebagai anak sekolah, Edward Bok melakukan pekerjaan yang bagus sekali. Tetapi kemudian ia mendapatkan banyak kesempatan yang jauh lebih baik lagi. Pada suatu hari ia diundang menghadiri suatu pesta terdorong oleh bakat jurnalistiknya yang sampai saat itu belum kelihatan, ia menulis laporan mengenai pesta tersebut, dengan mencantumkan semua nama mereka yang hadir. Artikel tersebut kemudian dimasukan ke surat kabar Brooklyn Eagle, dengan catatan bahwa setiap nama yang dicantumkan dalam paragrap tersebut merupakan pembeli baru surat kabar itu. Pada waktu itu belum ada surat kabar yang memimiliki departemen semacam itu. Redaktur Brooklyn Eagle cepat melihat kemungkinan-kemungkinannya. Ia langsung menawarkan kepada Edward tiga dollar setiap kolom untuk semua laporan perkumpulan tersebut yang bisa ia suguhkan. Dalam waktu singkat anak itu mulai memasukan dari dua kolom menjdi tiga kolom seminggunya, dan penjualan surat kabar tersebut meningkat terus dan sangat laris hingga upah yang diterimanya dinaikan menjadi empat dollar per kolom.
Kini dengan tugas rutinnya di rumah, dengan pekerjaannya di toko roti, dengan pekerjaannya menjual minuman dingin, dan dengan usahanya di bidang jurnalistik, Edward mempunyai waktu lagi untuk mempelajari pelajaran sekolahnya. Ia minta keluar sama sekali dari sekolahnya, tetapi ibunya keberatan. Edward membicarakan hal tersebut lebih jauh lagi, tetapi dalam hati tekadnya sudah bulat. Sementara Pak Bok telah mendapat pekerjaan sebagai penterjemah di perusahaan Western Union Telegraph Company, jabatan yang cocok sekali baginya sebab ia memiliki bakat menguasai bermacam-macam bahasa dengan mudah. Pada suatu malam ia bercerita bahwa pelayan kantor di bagiannya keluar. Edward langsung tertarik pada lowongan tersebut. Bagaimanapun juga ia harus mendapatkan pekerjaan tersebut pada usia tiga belas tahun Edward Bok bekerja pada Western Union dengan gaji enam seperempat dollar seminggu. Walaupun anak itu sekarang sudah keluar sama sekali dari sekolahnya, namun tidak berarti bahwa pendidikannya berakhir. Pikirannya cerdas dan selalu ingin tahu, ingin berkembang terus ia mengatakan sendiri bahwa ia harus mancapai pendidikan yang setaraf dengan perguruan tinggi. Setiap malam ia mempelajari kehidupan orang-oarang terkenal, ingin mengetahui bagaimana mereka menempuh jalan hidupnya. Pada masa itu, biografi yang ada hanya berupa riwayat singkat di dalam Appleton’s Encyclopedia di perpustakaan umum. Edward tidak bisa mengunjungi perpustakaan itu, sebab selama jam kerja ia juga bekerja. Oleh karena itu ia memutuskan untuk membeli sendiri ensiklopedia tersebut satu set lengkap. Untuk maksud ini ia menyisihkan sebagian uang makan siangnya, dan menyimpan uang transportnya. Dengan demikian setiap hari ia harus berjalan kaki delapan kilometer ke tempat kerjanya dan tidak lagi naik kereta. Akhirnya uangnya bisa terkumpul dan dengan bangga ia membeli ensiklopedia itu satu set.
Pada satu hari timbul pikirannya untuk membuktikan kebenaran biografi-biografi yang dibacanya. Ketika itu James A. Grafield diangkat menjadi Presiden Amerika Serikat. Ia kemudian menulis surat kepada Jendral Garfield, menceritakan tentang apa yang ia baca dan menayakan apakah cerita tersebut benar. Jendral Garfield merasa senang sekali membaca surat anak kecil yang polo itu. Ia langsung menawabnya. Jawabannya demikian lengkap mendetail hingga anak itu bergegas menunjukannya kepada ayahnya.
“Bukan main, Anakku!” seru Tuan Bok, “ini merupakan dokumen yang berharga sekali. Simpanlah dan jagalah sebaik-baiknya.”
“Betulkah itu?” kata Edward dalam hati. “Kalau demikian kenapa tidak mulai mengumpulkan surat-surat autograf?” Setiap orang memiliki sesuatu. Dan surat asli yang ditulis sendiri oleh orang termasyur pastilah berisi informasi yang banyak sekali.
Hasilnya sangat menarik. Oleh Jendral Grant anak itu dikirimi sket yang menunujukan tempat yang tepat di mana Jendral Lee menyerah kepadanya. Longfellow menceritakan asal mula ia menulis puisi Exelsior. Tennyson mengirimkan kepadanya dua atau tiga bait syairnya yang berjudul The Brook  disertai dengan beberapa nasehat bagus yang menentang pemakaian bahasa logat. Kemudian, pada suatu hari datang surat dari Jendral Konfederasi, Jendral Jubal A. Early, menceritakan kepada anak itu mengapa ia membakar Chambersburg. Seorang teman menyarankan agar cerita menarik ini dimasukan ke surat kabar Tribune, sebab hal tersebut pasti menarik para pembacanya. Oleh surat kabar tersebut, surat itu dimuat bersam dengan artikel tentang Edward Bok dan koleksinya yang unik. Akhirnya hal tersebut menjadi pokok pembicaraan nasional. Tidak lama antaranya, referensi-referensi dalam bentuk surat mulai berdatangan dari orang-orang terkenal yang ia surati. Mereka mengatakan bahwa mereka telah membaca tentang koleksinya, dan mereka merasa senang sekalali kalau namanya diamasukan di dalamnya. Tidak sedikit yang menyatakan keinginannya untuk mengenal anak itu secara pribadi. Dengan demikian Edward mulai bisa melihat orang-orang terkemuka di New York muncul di surat kabar. Kemudian ia mendatangi mereka. Begitulah cara Edward bersahabat dengan Jendral Grant dan Nyonya Grant, Jendral Sherman, Nyonya Abraham Lincoln, Jefferson Davis, dan masih banyak lagi yang lainya.
Koleksi autograf Edward ini sangat mengasiakn dan ternyata memeberikan pendidikan tersendiri. Aka tetapi, seperti halnya hobi lain pada umumnya, hobi ini mahal. Dan dengan penghasilan yang mini itu Edward merasa sulit sekali mengatasi hal tersebut. Mengenai biaya ini dia pikirkan pada suatu hari ketika sedang makan siang di warung. Orang di dekatnya membuang bungkus rokok. Tanpa disadari secara otomatis Edward memungut gambar tersebut yang ternyata gambar foto actor terkenal pada masa itu. Di bawah gambar tersebut tertulis pesan, bahwa bila si pembeli rokok mau mengumpulkan semua gambar pada bungkus rokok seperti itu, akhirnya ia pasti memiliki album berharga berisikan actor dan aktris yang terkenal dijamannya. Ketika gambar tersebut dibalik, ternyata halaman sebelahnya kosong. “Mengapa mereka tidak menyebutkan nama actor ini?” pikirnya dalam hati. Tiba-tiba ia berdiri tersentak. Inilah jalan untuk membiayai hobinya. Dengan ide ini semangatnya langsung meluap gembira dan ia bergegas menuju ke penerbitan Knapp Lithographic Company yang mencetak gambar-gambar aktor-aktris pada bungkus rokok semacam itu. Di situ ia menjelaskan mengenai rencananya. Seketika itu juga Tuan Knapp langsung menjawabnya. “Kau akan ku berikan sepuluh dollar untuk setiap artikel, jikalau kau menulis seratus biografi dari orang-orang Amerika terkenal. Satu biografi cukup ditulis dengan seratus kata saja. Untuk itu saya minta dikirimi daftarnya, dan daftar tersebut hendaknya dikelompokkan secara terperinci, misalnya kelompok negarawan, pengarang, serdadu, aktor, dan seterus.”
Dengan demikian Edward Bok betul-betul mendapatkan komisi karyanya yang pertama kali. Menurut perasaan si penerbit kecil ini, hal tersebut merupakan keberhasilan yang kelewat besar. Pekerjaannya mulai menggunung hingga ia merasa kewalahan. Oleh karena itu ia lalu mengambil dua orang pembantu untuk mengumpulkan materi bagi biografi-biografi tersebut, sementara ia memuaskan dirinya dengan pekerjaan penerbitannya sendiri.
Hobi Edward menyebabkan ia mempunyai kesempatan terbesar di masa mudanya. Beberapa bulan sebelumnya ia mengikuti kursus steno dengan maksud agar bisa membuat catatan dengan cepat bila mewawancarai seseorang. Pada waktu ia sedang giat-giatnya belajar setno, ia mendapat tugas penting. Ia harus menghadiri makan malam kenegaraan di New York dan harus memebuat laporan mengenai pidatao Presiden Hayes pada perjamuan tersebut. Wartawan muda itu berangkat dengan gembira dan semangat yang menyala-nyala. Begitu Presiden berdiri memeberikan sambutannya, ia langsung membuka buku catatannya. Selama satu atau dua menit semua berjalan dengan lancar. Akan tetapi kemudian Edward merasa Presiden berbicara jau lebih cepat dari pada larinya pensil di tangannya. Anak itu merasa gelisa seakan-akan waktunya berlalu sebelum perjamuan selesai dan para tamu telah meninggalkan meja. Akhirnya upacara selesai, dan Edward, yang tetap tidak merasa takut, cepat-cepat menemui Presiden dan memperkenalkan diri. Edward memberitahukan mengenai tugas yang dipercayakan kepadanya, dan menjelaskan betapa pentingn arti tugas tersebut baginya. Ia bertanya apakah mungkin ia mendapatkan teks pidato tersebut. Presiden tergerak hatinya oleh sikap yang terusterang dan menunjukan kesungguhan itu. Presiden memanggil ajudannya dan minta agar anak itu diberi teks pidatonya saat itu juga. Pagi harinya, hanya surat kabar Edward sajalah yang memuat pidato Presiden itu secara lengkap, persis sama dengan yang diucapkan pada waktu upacara berlangsung.
Peristiwa tersebut tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Hari berikutnya, ketika Edward pulang dari kerja, ia menerima kartu kecil dari Presiden Hayes dan Nyonya. Mereka mengundang Edward untuk datang ke rumah sore itu pada pukul setengah sembilan malam. Edward bergegas mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan segera berangkat menjalani petualangan yang besar ini – yakni bertemu di tempat kediaman Presiden Amerika Serikat. Itulah awal persahabatan mereka yang mulia. Mulai saat itu, Presiden menaruh minat yang tidak kunjung padam pada karier anak itu, dan ia selalu memberikan nasihat-nasihat yang bagus dan bermanfaat sekali. Suratnya yang terakhir datang pada tahun 1892, beberapa saat saat sebelum wafatnya. Surat tersebut diakhiri dengan ucapan “terima kasih dan salam hangat dari sahabatmu, Rutherford B. Haves”. Di bawahnya ada tambahan singkat, “Terima kasih, terima kasih atas persahabatanmu yang tetap abadi.”
Sudah barang tentu, kegemaran Edward Bok mengumpulkan autograf atau riwayat hidup yang ditulis oleh orang yang bersangkutan ini membuat ia rajin membaca karya-karya para pengarang yang ia kirim surat. Ia menjadi lekat dengan kelompok New England seperti: Longfellow, Holmes, dan Emerson. Kekuatan dan dorongan filsafat Emerson yang luar biasa itu sangat menarik perhatian anak tersebut. Ia tidak jarang mengantongi esei fisuf besar itu dan membacanya selama pulang pergi ke kantornya. Oleh karena para pengarang New England jarang pergi ke New York, maka sewaktu Bok mendapat cuti seminggu, ia pergi ke Boston mengunjungi mereka. Ia makan pergi bersama Dr. Homles, dan siangnya hampir seharian ia bersama Longfellow yang malamnya mengajaknya menonton ke teater. Ia berjumpa dengan Wendell Phillips dan Phillips Brooks, Lousia Alcott dan keluarga Emerson, William Lloyd Garrison, Lurcretia Mott dan masih banyak lagi orang kenamaan lainnya. Dalam perjalanan pulang, anak itu semalaman duduk terus di kereta siang, nukan karena menghemat ongkos kereta tidur, akan tetapi karena ia tidak ingin melupakan begitu saja kenangan liburan yang paling mengagumkan yang pernah ia alami. Dalam perjalanan tersebut kesan-kesan yang baru dialaminya disusun teratur dalam buku catatannya.
Tidak berapa lama kemudian. Edward menjadi redaktur majalah lokal milik gereja bernama The Brooklyn Magazine. Dalam waktu singkat, majalah tersebut melonjak menjadi majalah nasional yang menonjol disebabkan oleh karena isinya memang ajaib, sangat menarik, pada terbitan-terbitan pertamanya memuat artikel karangan Presiden Hayes, Wendell Phillips, William Dean Howells, Jendral Grant dan Marion Harland. Ini sungguh merupakan barisan orang termasyur yang bukan main sehingga memikat pembacanya. “Bagaimana mereka bisa berbuat demikian?” orang-orang saling bertanya satu sama lain. “Yang pasti, gereja tidak mungkin mampu membeli bahan-bahan seperti itu.” Bok tersenyum sendiri. Setiap kisah yang dimuat dalam artikel tersebut merupakan hadiah yang disampaikan kepadanya dari teman-temannya yang menginginkan agar ia dapat berhasil dalam kedudukannya yang baru. Dengan pengalaman-pengalamannya di Brooklyn Magazine, redaktur mudah itu menjadi yakin bahwa karier yang tepat baginya terletak pada penerbitan dan penelitian naskah. Ia kemudian berhenti bekerja dari Western Union, dan pergi ke perusahaan penerbitan Henry Holt and Company. Dari sana ia pindah ke Charles Scribner’s Sons. Di Scribner’s ia menjadi sekretaris pada dua orang kepala redaktur. Dalam jangka waktu satu atau dua tahun ia mempelajari segala detil perusahaan penerbit dan menguasai seri dunia sastra. Ia merasa yakin akan masa depan yang cerah bersama perusahaan tua yang sudah mantap tersebut. Tetapi semua itu kemudian berubah, disebabkan oleh salah satu perbuatan sampingannya. Ia melakukan tindakan-tindakan kecil sampingan seperti itu banyak sekali jumlahnya.
Kira-kira satu tahun sebelumnya, dalam benaknya timbul gagasan – yang pada waktu itu belum terdengar – untuk menjual artikel-artikel yang sama kepada sejumlah surat kabar, yang peredaraannya luas sampai dimana-mana, untuk diterbitkan pada hari yang sama. Rencananya dapat dilaksanakan dengan hasil baik, dan tidak berapa lama kemudian The Bok Syndicate Press diorganisasikan dengan sebuah kantor New York yang pengurusannya diserahkan kepada kaka Edward. Salah satu keistimewaannya ialah adanya halaman khusus untuk wanita. Ini merupakan hal yang pertama kali muncul, sebab pada waktu itu, orang yang berani menulis artikel pada halaman seperti itu, maka orang tersebut termasuk orang yang sungguh-sungguh pemberani. Para pengejek menandaskan bahwa wanita Amerika, pada umumnya, bukanlah pembaca surat kabar. Kepada para pengejek tersebut, si redaktur berjiwa muda itu menjawab, “Tentu saja mereka bukan pembaca surat kabar, sebab di dalam surat kabar tidak ada satu pun yang menarik mereka.” Ia terus mengisi halaman wanita dengan artikel-artikel yang menarik. Akibatnya, banyak sekali surat pujian dan dukungan yang berdatangan dari seluruh pelosok negara. Di Philadelphia, ketika Cyrus Curtis melihat halaman wanita tersebut, ia cepat-cepat berangkat ke New York. Ia mengajukan pertanyaan singkat, “Apakah Bok muda mau ke Philadelphia untuk menjabat sebagai redaktur The Ladies’ Home Journal?”


   Edward Bok dihadapkan pada masalah paling berat, yakni membuat keputusan tentang kariernya. Ada suatu tantangan menarik dalam usaha baru tersebut, akan tetapi jikalau ia gagal, ia tidak hanya mengorbankan masa depannya saja, akan tetapi pasti menjadi bahan ejekan dan cemohan semua orang. Dengan pikirannya yang praktis, ia mempertimbangkan situasinya dengan saksama. Pagi harinya ia naik kereta api menuju Philadelphia untuk memulai kariernya yang dipegangnya selama tiga puluh tahun.
Atas usaha Bok, The Ladies’ Home Journal berkembang menjadi salah satu majalah yang paling progresif di Amerika. Tujuannya demokratis. Majalah tersebut tidak hanya ditujukan kepada segelintir orang tertentu, tetapi diperuntukan bagi pembaca yang memiliki kecerdasan menengah. Dan bagi pembaca biasa itu Bok memutuskan bahwa tidak ada sesuatu yang terlalu bagus. Ia mencari bahan-bahan terbaik dengan menggunakan bakat sastranya. Ia mempersembahkan artikel-artikel yang informatif tetapi tetapi menyenangkan dan sedang hangat-hangatnya dipertanyakan orang. Dan melalui tajuk rencananya ia selalu berkampanye demi perbaikan Amerika. Tidak ada fasse kehidupan Amerika yang tidak menyentuh hati dan pikirannya. Ia senantiasa memikirkan soal kehidupan Amerika. Serangannya yang keras terhadap reklame-reklame penjual obat berpaten yang kejam dan menyesatkan membangkitkan sentimen masyarakat terhadap diterimanya Undang-undang Makanan Murni dan Obat. Ia juga merasa sedih dengan keadaan khas rumah Amerika yang jelek. Tidak lama kemudian, di halaman The Ladies’ Home Journal muncul perencanaan konstruksi arsitektur lengkap untuk sejumlah rumah kecil menarik bagi orang-orang yang berpenghasilan menengah. Beberapa tahun kemudian, ia mulai melawan sikap konservatif dengan meresmikan satu bagian baru di mana para ibu muda bisa mendapatkan petunjuk dan nasihat ilmiah yang tepat untuk merawat bayi mereka. Dia memperkenalkan seni kepada masyarakat Amerika. Selama beberapa bulan The Ladies’ Home Journal menurut serangkaian reproduksi yang bagus sekali dari karya-karya besar, yang kebanyakan belum pernah terlihat di Amerika.
Salah satu ciri kuat dari sifat Edward Bok ialah rasa tanggung jawanya yang dalam terhadap para pembacanya. Ia tahu betul bahwa redaktur yang majalahnya dibaca oleh ribuan keluarga dapat menggunakan kekuasaannya yang luar biasa untuk berbuat baik atau jahat. Melalui jabatannya sebagai redaktur, ia senantiasa menggunakan seluruh tenaga dan energi yang dimilikinya untuk membuat majalahnya sebagai alat yang berpengaruh demi perbaikan dan kemajuan.


Walaupun tugas-tugas profesi Bok sulit dan harus teliti serta tepat, namun ia memiliki saat-saat yang penuh kegembiraan dan kebahagiaan bagi hidup pribadinya. Pada tahun 1896 ia menikah dengan Mery Louise Curtis dan kedua anaknya, Curtis serta Cary, menjadi sumber kebahagiaan besar baginya. Tanah miliknya di Marion, sebuah kota satelit di Philadelphia, tidak pernah menjadi tempat pameran, tetapi merupakan rumah Amerika yang penuh keramahan, berlimpahkan kehangatan dan persahabatan. Salah satu sahabat kentalnya ialah Theodore Roosevelt. Acapkali kedua sahabat itu pada malam hari membicarakan bersama mengenai persoalan dunia “sebagai orang Belanda kepada orang Belanda lain”, sebab keduanya bangga pada nenek moyang mereka, orang Belanda.
   Edward Bok tidak pernah beranggapan bahwa seseorang harus bekerja terus dengan kecepatan tinggi sampai akhir hayatnya. Ia melihat di sekelilingnya banyak orang tua yang hancur hidupnya lantaran mengejar hal tersebut. Bagi Bok sendiri, ia merasa bahwa dua puluh lima tahun menjadi penerbit sudah cukup. Tetapi ia mendapat rintangan dengan pecahnya Perang Dunia I, dan baru tahun 1919 ia mengosongkan kursi redakturnya. Ketika ia mengundurkan diri, sirkulasi The Ladies’ Home Journal sudah meningkat menjadi lebih dari dua juta eksemplar dan merupakan majalah paling berharga di dunia.
Bagi Bok, pensiun bukan berarti menganggur. Hal itu hanyalah berarti kesempatan lain untuk mengabdi pada sesama. Minatnya tiada terbatas. Dengan kekayaan serta pengaruhnya, sekarang ia berusaha keras untuk meningkatkan hidup orang kebanyakan. Ia memberikan sumbangan besar kepada Persatuan Orkes Philadelphia, tetapi dengan sayarat bahwa persatuan itu harus membuka pintunya bagi orang kebanyakan. Ia menganjurkan dan berusaha keras agar di setiap kelompok masyarakat dibuat taman dan tanah lapang tempat bermain serta berolah raga. Ia benci sekali terhadap perang, dan untuk ini ia menawarkan hadiah yang besar sekali bagi perencanaan perdamaian abadi yang terbaik.



Edward Bok tutup usia pada tanggal 9 januari 1930, dan dimakamkan di kaki Monumen yang ia bangun, Florida Singing Tower. Momen tersebut, yang merupakan tempat perlindungan burung yang indah sekali, dibangun persis seperti  The Island of Nightingales di negara nenek moyangnya, Belanda. Riwayatnya bukanlah riwayat murah dan cepat berhasil, tetapi riwayatnya seorang anak yang kuat yang memberikan jasa kepada Amerika sebanyak yang ia peroleh dari negara tersebut dalam bukunya yang berjudul The Americanization of Edward Bok, Amerikanisasinya Edward Bok, ia menuliskan pahamnya sebagai berikut: “Saya tidak minta hak yang lebih besar daripada melihat Amerika seperti yang saya pikirkan, sebab Amerikanya Abraham Lincoln dan Theodore Roosevelt bukan menjadi tanpa salah, tetapi salanya lebih sedikit. Saya berusaha membentuk Amerika tersebut sekuat tenaga sebagai balasan saya atas apa yang telah saya terima dari negara tersebut. Hak lebih besar yang tak mungkin dapat diminta oleh siapa pun jua.” 



Sumber (Buku) : Anak Miskin Yang Jadi Masyur.

Tuesday, 12 December 2017

George Washington Carver (1859-1943) Ahli Botani


 George Washington Carver
(1859-1943)
ahli botani

Kemampuan yang tinggi dan bakat spiritual yang besar tidak mengenal ras, kepercayaan, maupun warna kulit. Secara sederhana kenyataan ini dibuktikan oleh kehidupan George Washington Carver.
Sebenarnya ironis sekali bahwa ilmuan Negro yang lemah-lembut ini, dengan bakatnya dapat memperkaya serta menyejahterahkan seluruh bangsa manusia, dilahirkan di tengah-tengah kecamuk perang saudara di Amerika. Tempat kelahirannya Diamond Grove, Missouri, tetapi tanggal lahirnya yang pasti tidak jelas. Bahkan nama pun tidak punya. Hal ini disebabkan oleh karena ibunya, Mary, seorang budak pada keluarga Moses Carver. Anak kecil itu hanya dikenal dengan sebutan Carver’s George. Setelah ia menginjak bangku sekoalh barulah ia mendapat nama kehormatannya: George Washington Carver.
Walaupun begitu, George mengalami masa kecil yang bahagia. Moses Carver orang baik, seorang petani yang giat bekerja keras, dan tidak setuju dengan perbudakan. Ia terpaksa membeli beberapa budak karena tidak bisa mendapat bantuan tenaga dengan cara lain untuk mengelolah sawanya. Ia dan istrinya sayang sekali kepada si kecil George, yang dulu mereka selamatkan dari tangan para penculik. George ditebus dengan seekor kuda. Keluarga Moses Carver memperlakukan George sebagai anaknya sendiri. Ia memang diberi tugas melaksanakan pekerjaan sehari-hari seperti membersihkan rumah, memberi makan ayam, dan menyiangi rumput di gang-gang dalam kebun sekitar rumah. Tetapi sesudah itu ia bebas. Ini berarti bahwa ia dapat menemukan dunianya sendiri yang istimewa dan ajaib. Ia senang dan pandai bergaul dengan tumbuh-tumbuhan, benda berdaun hijau. Dengan gembira ia berjalan-jalan di antara pepohonan, dan di sana sini ia berhenti untuk mengambil batu gemerlapan atau rerumputan atau segala sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Saku bajunya menjadi laboraturium istimewa. Benda-benda yang dikumpulkan dalam sakunya, sesampainya dirumah dikeluarkan semua, dan pada waktu senggang barang-barang tersebut diamati serta diselidiki dengan cermat dan saksama. Seluruh isi rumah dan tetangganya tersenyum geli melihat anak yang lucu itu, dan George diberi julukan The Plant Dokter, Dokter Tanaman.
Dunia ini seluruhnya menimbulakn tanda tanya bagi George yang masih kecil itu. Dari Ny. Carver, George mendapat guru tua, yang sudah bertahun-tahun tinggal dirumahnya. Dengan demikian George bisa belajar dengan tak henti-hentinya dan senantiasa merasa tidak puas dengan apa yang diperolehnya. Ia senang membaca dan dari bacaan-bacaan tersebut ia dapat mengenal nama benda-benda, akan tetapi ini tidak cukup. George ingin mengetahui segala sesuatu sejlas-jelasnya, mengapa ini begini, mengapa itu begitu. Di sekitar tempat tinggalnya tidak ada sekolah bagi anak Negro. Jadi tidak jelas bagaimana ahli biotani muda itu akan mendapatkan pendidikan yang ia dambakan. Akhirnya George sendirilah yang memecahkan persoalannya. Ia menghadap keluarga Caver dan mengutarakan bahwa ia mau pergi untuk mencari sekolah. Keluarga Caver memandang anak tersebut, dan melihat keinginannya yang bernyala-nyala yang memancar dari wajahnya serta matanya yang berkaca-kaca penuh harapan, mencerminkan hasratnya yang besar. Dengan demikian mereka tidak bisa menolak permintaan George.
George sama sekali tidak memiliki keragu-raguan akan masa depannya. Seperti seorang kerdil kecil yang berani, ia berangkat mencari tujuannya. Pertama kali ia berhenti di kota Neosho, Missouri dan di situ untuk pertama kalinya pula ia tidur di atas tumpukan balok kayu. Di Neosho terdapat sekolah yang dicari, dan keesokan harinya ia memasuki ruangan yang penuh muridnya. Ia merasa suka cita yang bukan main besarnya. Tidak sampai setahun ia telah menguasai seluruh pelajaran yang dapat diberikan di sekolah tersebut, dan ia menemukan banyak hal yang menakjubkan yang tidak dapat ia temukan di dalam buku. Ia merasa senang dapat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan sederhana. Untuk mendapatkan nafkah, ia bekerja sebagai tukang masak, pembersih rumah, dan sebagai tukang cuci. Ia menjadi ahli menjahit, membordir, dan merajut. Ia berhasil mencontoh pola renda yang sulit sekali. Ia sama sekali tidak merasa bahwa pekerjaan semacam itu sebenarnya bukanlah pekerjaan anak laki-laki. Baginya, semua itu merupakan besarnya minat untuk belajar.
Pola dan maksud pengembaraan George menjadi jelas. Ia pergi ke kota, membuka usaha sebagai tukang penatu, dan belajar di sekolah terdekat. Setelah sekolah tersebut tidak bisa memberinya pelajaran lebih jau lagi, ia lalu keluar dan pergi lagi dari kota tersebut. Dalam perjalanan hidupnya ia mengalami masa gelap di mana ia harus menghadapi kekejaman serta kecurigaan yang diderita oleh sukunya, bangsa Negro. Tetapi dalam banyak hal ia bertemu dengan orang-orang yang baik hati dan yang mau membantunya. Dengan usahanya sebagai pencuci dan penatu, George mendapat banyak teman dan mereka menjadi sahabatnya seumur hidup.
Pengembara muda itu tidak pernah mengetahui dangan jelas apa sebenarnya syarat-syarat yang diperlukan untuk masuk perguruaan tinggi. Tetapi pada suatu hari ia merasa bahwa dirinya sudah siap masuk perguruan tinggi. Oleh karena itu ia lalu menulis surat lamaran ke Universitas Highland. Beberapa hari kemudian ia mendengar bahwa ia diterima. Ketika ia dating ke universitas tersebut untuk mendaftarkan diri, George melihat pejabat yang menemuinya nampak bingung, gelisah dan malu. Ia berputar bolak balik di kursinya dan kemudian mengatakan sesuatu kepada George. Apa yang dimaksud oleh pejabat tersebut jelas. Ia minta maaf karena sebelumnya tidak memberitahu kepada George bahwa sekolahnya tidak menerima orang Negro. George sama sekali tidak merasa sakit hati. Ia cuma merasa sedikit kasihan kepada pejabat kulit putih yang mukanya jadi merah karena malu.
Oleh George Carver hal tersebut hanyalah dipandang sebagai salah satu pengalaman hidup. Ia juga tidak mau repot-repot menjelaskan bahwa penolakan tersebut sebenarnya menghambat atau merupakan kemunduran bagi rencananya. Untuk biaya perjalanan dengan kereta api ke sekolah tersebut ia telah menghabiskan seluruh uang simpanannya. Kini ia harus menunggu tahun depan lagi.
Lima tahun kemudian, Simpson College di Indianola, lowa, merasa bangga sekali bahwa George Washington Carver dulunya pernah menjadi salah seorang mahasiswanya. Pada tahun 1890, sekolah budaya itu sendiri pun tidak mengetahui apa yang harus diperbuat dengan George sewaktu pada suatu hari ia datang dengan susah payah ke perguruan tinggi tersebut untuk mendaftarkan diri masuk ke situ mereka senang pada semangatnya, akan tetapi mereka dapat mengesampingkan begitu saja mengenai latar belakang pendidikannya yang tidak menentu tersebut. Dan ia meminta dengan sangat untuk mengambil jurusan yang salah. Semestinya ia harus mengambil jurusan yang dapat membantu dia mencari uang, akan tetapi ia malah ingin masuk jurusan seni. Akhirnya mereka mengambil suatu kompromi. Ia boleh masuk jurusan seni, akan tetapi ia harus mengikuti pelajaran-pelajaran praktek.
George berhati lemah-lembut, tapi juga keras kepala. Ia tidak mau ditipu sehingga kehilangan kesempatan baik ini untuk menciptakan barang-barang indah seperti yang selalu diimpi-impikannya. Sedikit demi sedikit ia berhasil merebut hati Nona Etta Budd, ketua jurusan seni. Ia sangat disayangi oleh Nona Budd. Dengan rasa enggan, Nona Budd setuju menerima George di kelasnya selama masa percobaan. Jikalau ternyata George bakatnya cuma kecil, maka ia harus kembali ke pekerjaan prakteknya. Tetapi akhirnya ternyata George terus mengikuti pelajaran Nona Budd selama ia berada di Simpson, dan pada tahun 1893 salah satu lukisannya memperoleh sebutan terhormat pada pameran Chicago World Fair.
Kepada sahabat-sahabatnya di rumah, mahasiswa muda itu mengirimkan surat yang berapi-api menceritakan mengenai kehidupannya selama di perguruan tinggi. Minggu-minggu pertama dirasakannya sangat berat dan ia hampir kelaparan sampai tersiar mengenai usahanya sebagai penatu. Akan tetapi sebentar saja ia menjadi tokoh yang terkenal dan populer di kampus. Ia menonjol di segala bidang. Dalam grup diskusi, dalam kelompok paduan suara sekolah, di lapangan baseball semua teman kelas luapa akan warna kulitnya dan menerima George dengan gembira, hangat, dan sepenuh hati. Dalam perlakuan seperti itulah George berkembang dan maju terus.
Nona Budd itulah yang menanyakan dengan terus-terang kepada George tentang apa sebenarnya yang ia tuju dengan pendidikannya. Dan George sendiri merasa sedikit terkejut pada jawabannya sendiri. Sampai saat itu, ia sama sekali belum pernah memikirkan apakah ia akan menjadi guru atau menjadi seniman. Sekarang dengan kematangan jiwanya, timbullah suatu cita-cita, suatu keinginan untuk membantu dan mengabdi kepada rasnya, bangsa Negro. Untuk ini jelas bahwa jalan paling baik untuk mengabdi bangsanya ialah melalui bidang pertanian.
Memilukan sekali rasanya bagi George untuk meninggalkan Simpson. Akan tetapi, pada tahun 1891 ia masuk ke lowa State College of Agriculture and Mechanics Arts. Di bawa bimbingan James G. Wilson, direktur jurusan pertanian, dan Hanry Canwell Wallace, professor pertanian, pemuda Carver sebentar saja sudah terpikat dan tekun dalam pelajarannya yang baru. Kedua orang tersebut, yang termasuk orang paling mampu dalam bidangnya di Amerika Serikat, mempunyai peranan yang tidak kecil dalam pembentukan masa depan George. Mereka bukan hanya sebagai gurunya, tetapi juga sebagai sahabatnya. Tiga puluh tahun kemudian, ketiga orang tersebut masih tetap tukar menukar ide dan membahas bersama secara mendalam semua persoalan yang mereka hadapi dalam pekerjaan masing-masing.
George Carver lulus dari lowa State College pada tahun 1894 dan langsung diangkat menjadi anggota fakultas tersebut, diserahi menangani botani sistematik. Ia kadang-kadang berpikir bahwa ia senang tetap tinggal bersama orang-orang yang sudah cocok dan menyenangkan ini, sebab dengan mereka telah terjalin rasa kekeluargaan. Akan tetapi, pada tahun 1896 datang panggilan yang selalu ia nanti-nantikan. Booker T. Washington menulis surat, minta apakah Profesor Carver yang muda itu dapat diyakinkan supaya mau datang ke Tuskegee Institute. Untuk ini perlu dibicarakan dengannya. Oleh para pendiri Tuskegee Institute, sekolah tersebut dimaksudkan sebagai tempat pendidikan dasar progresif bagi oaring Negro. Mereka yang telah lulus dari situ harus mengajar teman-temannya, dan selanjutnya mereka yang telah mendapat pelajaran tersebut harus memberikan pengetahuannya kepada yang lain hingga buah dari sekolah itu menjalar keseluruh generasi. Pada waktu institute menunjuk George Carver menjadi ketua jurusan pertanian, jurusan baru, mereka tidak menyadari betapa pentingnya langkah yang mereka ambil itu. Sebab, dalam tahun-tahun berikutnya, jurusan pertanian di Tuskegee mempunyai penggaruh yang penting sekali dalam perekonomian Selatan, pengaruh yang sama bagi orang Negro dan orang kulit putih.


Tetapi, untuk sementara waktu jurusan yang dipimpin Dr. Carver hanya berupa kertas saja. Lemari-lemari masih kosong dan laboraturium yang diperlukan sama sekali belum ada. Tidak ada alat, tidak ada mata pelajaran tertentu yang dapat diberikan secara teratur. Dan ketiga belas muridnya yang ingin maju itu terdiri dari anak-anak yang beraneka ragam bakat dan dasar pendidikannya. Orang yang berakal sehat pasti cepat-cepat meninggalkan tempat kerja semacam itu dan kembali ke laboratorium yang berperalatan serba lengkap di lowa State.
Berakal sehat atau tidak, tetapi Goerge Carver, dengan tidak berpaling ke masa lampau, tetap ke dalam pekerjaan yang mengikatnya selama hampir lima puluh tahun itu. Dalam waktu satu tahun ia telah berhasil menyusun kurikulum dengan baik yang secara fleksibel dapat memenuhi kebutuhan murid-muridnya. Kecuali itu ia juga berhasil membangun laboratorium bagus dari sisa-sisa bahan yang ia peroleh di sekitar kampus – potongan-potongan kawat dan kabel serta tutup-tutup botol. Ia menyayangi murid-muridnya dan merasa bertanggung jawab sepenuhnya pada anak-anak yang dengan susah paya dan memulai jalan yang sulit berusaha masuk ke sekolah tersebut Ia memberikan pelajaran dengan penuh semangat, diselingi dengan kelakar dan humor yang menggembirakan. Ia juga tidak marah bila diserang dan dijadikan korban kelakar murid-muridnya walaupun ia sudah tau. Pada suatu hari seorang anak berbadan besar datang ke mejanya sambil tersenyum. Anak itu menaruh seekor binatang di hadapanya. Binatang tersebut kelihatannya aneh. Rupanya sebagian seperti lalat, sebagian seperti kumbang dan sebagian lagi seperti labah-labah. George memandanginya dengan serius.
“Profesor Carver tahukah Bapak binatang apakah ini?” tanya anak tersebut. “Binatang ini namanya binatang bastar,” jawab Bapak Guru tersebut sambil tersenyum.
Mengajar memang merupakan pekerjaan yang ia senangi. Akan tetapi, tidak lama kemudian ilmuan mud itu merasa bahwa bekerja di kelasnya saja tidak cukup.
George Washington Carver mencintai daerah Selatan seperti halnya seseorang mencintai kampung halaman tempat kelahirannya. Akan tetapi ia selalu dibayangi oleh kemiskinan  daerah tersebut. Para petani sedih sekali sebab tanahnya tandus, ladangnya hangus, dan mereka tidak mempunyai harapan sama sekali akan masa depan mereka yang suram itu. Berkat bakat istimewanya, yakni bisa melihat sesuatu lebih jau dan lebih dalam daripada manusai biasa, George Carver melihat bahwa daerah Selatan merupakan daerah yang penuh berkelimpahan asalkan saja orang-orangnya mengerti dan dapat memanfaatkan sumber-sumbernya yang kaya raya itu secara bijaksana. Di Tuskegee ia mendirikan stasiun percobaan pertanian dan ia mulai melancarkan kampanye pendidikan kepada setiap petani yang mau mendengarkanya.
Setiap kali bisa menyisihkan waktu dari tugas di sekolah. George lalu pergi ke Selatan, keluar-masuk daerah tersebut. Pada kesematan seperti itu ia ikut menghadiri rapat-rapat petani, mengunjungi pecan-pekan pameran pedesaan, atau kadang kala cuma sekedar singgah di ruamah petani yang mengalami kesulitan dengan panennya. Di mana-mana ia selalu menunjukan dan menjelaskan tentang kebodohan mereka, sebab mereka hanya melulu bertanam kapas saja sepanjang tahun. Tanamilah tanah kalian secara bergantian dengan tanaman lain, katanya kepada para petani. Berilah kesempatan agar tanah itu bisa bernapas. Jangan terus-menerus menanam kapas melelu. Gilirlah dengan kentang atau kacang. Sebab, bila tanah tersebut hanya ditanami kapas saja terus-menerus, maka kesuburan dan kekayaan yang ada di dalam tanah tersebut lama kelamaan terkuras abis. George berbicara kepada orang-orang yang datang dari tempat yang bermil-mil jauhnya, kepada orang yang harus mengingat seluruh pelajarannya, sebab mereka tidak bisa membaca dan menulis. Ia bahkan juga berbicara kepada orang-orang yang menghina dirinya karena warna kulitnya. Akan tetapi sedikit demi sedikit para petani itu mau mengerjakan apa yang diajarkan kepada mereka, sebab mereka mengetahui hal tersebut masuk akal dan mereka melihat ada harapan di dalamnya.


Setiap persoalan menimbulkan persoalan lain, dan yang berikut ini sungguh memusingkan kepala. Para petani telah mengikuti petunjuk dan nasihat Dr. Carver. Mereka menanam kacang secara besar-besaran di ladang yang luasnya berhektar-hektar. Sekarang tidak ada pasar yang dapat menampung panen kacang yang berlimapah itu. Dengan tenang dan dibarengi dengan doa, Dr. Carver mengambil sekeranjang kacang lau dibawa ke laboratoriumnya untuk diselidiki. Bagaimana hasil penyelidikannya, tidak pernah ada orang yang mengetahuinya. Hasil tersebut baru terungkap dan disiarkan pada suatu hari di tahun 1921 ketika Profesor Carver dan Tuskegee Institute itu dipanggil ke Washington untuk memberikan kesaksiannya di depan Komite Perencana Anggaran, untuk memberi dukungan dalam menentukan tarip harga kacang. Para anggota Konggres kelihatan mencibir dan tidak begitu simpatik ketika orang Negro setengah tua yang berbadan tinggi itu memasuki ruangan sidang dengan membawa beberapa tas besar. Mereka mengira orang tersebut tukang jual oabat atau orang kurang waras. Dan George hanya diberi waktu berbicara sepuluh menit. Sang Profesor menghadapi hinaan dan penolakan tersebut dengan penuh kesabaran seperti biasanya. Ia membuka salah satu tasnya dan mengeluarkan sebuah botol kaca kecil. Satu tiga perempat jam ia masih tetap berbicara. Suaranya sudah menjadi serak dan para anggota Konggres nampak terpaku di kursinya masing-masing. Di dapan para pendengarnya yang kagum dan terpesona itu, ilmuan Negro tersebut menunjukan dan memperagakan lebih dari seratus empat puluh lima macam produk yang bermanfaat yang dihasilkan dari kacang tanah, dan sekitar seratus macam lebih yang dihasilkan dari ketela rambut untuk berbagai keperluan yang bernilai. Hasil tersebut antara lain: tepung, kopi, susu, keju, penhalus muka, asinan, sampo, pemutih, tinta, semir, dan masih banyak lagi lainya. Persolannya sekarang bukanlah mencari pasar, tetapi menyediakan kacang secukupnya.
Segala sesuatu yang disentuh Dr. Carver berubah menjadi barang yang berharga. Tidak ada satu benda pun yang masuk kedalam laboratoriumnya kemudian keluar lagi tanpa dapat digunakan dengan semestinya. Semuanya bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahan hamparan dibuat dari katun, karet dari lupur, obat mujarab dari kulit kayu atau tumbuh-tumbuhan lain. Dari tanah liat Alabama ia menemukan bahan warna dan pigmen biru yang rahasianya telah lama hilang dalam sejarah. Cat-cat serta pencuci warnanya sangat menarik perhatian seorang pengusaha cat terkemuka. Sebenarnya ia dapat memperoleh keuntungan besar dari permintaannya. Akan tetapi semua tawaran seperti itu selalu dijwab “tidak”. Ia tidak mau mengambil keuntungan dari hasil penemuannya untuk dirinya sendiri. Dalam kariernya, satu kali pun Dr. Carver tidak pernah dapat dibujuk untuk minta paten atau memperdagangkan hasil-hasil penemuannya. Ia tidak mau meninggalkan Tuskegee yang dicintai itu walaupun kepadanya dijanjikan bayaran yang tinggi. Uang tidak bisa menumbangkan sikap dan pendiriannya. Ia tertarik pada problem industri hanya oleh karena hal tersebut menyangkut kehidupan manusia.
Bagi George Carver, ketenarannya yang terus menanjak ini malah mengganggu kehidupan pribadinya. Ia berpegang pada cara hidupnya yang sederhana dan mungkin ditemukan, langsung dari beberapa upacara pemberian ijazah sekolah di mana ia menerima gelar kehormatan, dan juga dalam penyelidikannya yang saksama terhadap pakis aneh yang ia temukan. Pada salah satu upacara pemberian ijazah tersebut, seorang wartawan yang berhasil menemuinya bertanya kepadanya mengenai filsafat hidupnya. Dr. Carver berpikir sejenak dan kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan sederhana dan terus terang. Ia tidak malu-malu berkata sebagai orang yang tebal impiannya dan besar ketaatannya pada kepercayaannya.
“Saya masuk ke hutan dan di sana saya mengumpulkan bahan-bahan percobaan dan mempelajari pelajaran-pelajaran besar yang diberikan oleh alam. Alam ingin sekali mengajar kita. Berada sendirian dalam hutan setiap pagi, saya bisa mendengar dan mengerti dengan jelas sekali mengenai rencana Tuhan pada diri saya.”
Di dalam dunia ilmu pengetahuan, hanya ada satu kriteria baginya, yakni: kecakapan. Ilmuan-ilamuan sejawat George Carver segera menjadi anggota Royal Society, lembaga kerajaan bidang ilmiah, di Inggris. Pada tahun 1923 ia menerima hadiah medali Spingam untuk jasanya yang luar biasa di bidang kimia pertanian. Pada tahun 1935 ia mendapat kehormatan dari pemerintah dan ditunjuk sebagai kolaborator di Bureau of Plant Industry, U.S. Departement of Agriculture (Biro Industri Tanaman di Departemen Pertanian Amerika Serikat). Delano Roosevelt dan George Carver adalah orang-orang yang saling mengerti satu sama lain, sebab masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri bekerja dan berusaha sekuat tenaga sehingga memungkinkan semua orang, di mana pun mereka berada, bisa mendapakan makan yang lebih baik, perumahan yang lebih baik dan pakaian yang lebih baik.
Pada tahun 1940 ketika ia menderita sakit dan mendekati akhir hayatnya, George Washington Carver melakukan sesuatu yang istimewa. Ia menyuruh agar uang simpanannya, sebesar kurang lebih tiga puluh ribu dollar, dipakai untuk mendirikan yayasan, Carver Foundation, bagi pengembangan riset pertanian. Dengan uang tersebut, ditambah dengan sumbangan yang datang dari segala penjuru, maka pusat ini sekarang bisa mempersembahkan fasilitas yang serba lengkap untuk pendidikan sarjana bagi para ilmuan muda bangsa Negro dari seluruh negara.
George Washington Carver meninggal dunia pada tahun 1943. Di kampus Tuskegee didirikan sebuah bangunan tembok kecil, Museum Carver. Di dalamnya dipertontonkan peri kehidupan George Carver. Di tempat tersebut dipamerkan ratusan produk yang besar sekali manfaatnya yang dihasilkan oleh George Carver dari barang-barang sisa dan barang bekas. Di situ ditujukan contoh-contoh hasta karya indah yang ia senangi. Di situ terdapat pula lukisan-lukisan yang merupakan hobi dalam hidupnya. Dan di situ pula terdapat impiannya mengenai Amerika sebagai tanah yang memberikan kesempatan besar serta perkembangan bagi semua orang.



Sumber (Buku) : Anak Miskin Yang Jadi Masyur.