Neuralink - Apakah Antarmuka Otak-Komputer Membawa Kita Ke Dalam Utopia Teknologi?

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Nilai Pasar Nvidia, AI Kesayangan, Melonjak Mendekati Apple

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

PREVIEW PERTANDINGAN: MAN CITY V UNITED WOMEN

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Apakah BRICS yang Diperluas Akhirnya Melengserkan Dolar dengan Bantuan Kripto?

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

APAKAH YESUS TUHAN? Mari Kita Cari Tahu!

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Wednesday, 28 October 2015

Pilot & Juga Sorang Misionaris Perempuan Yang Pernah Melakukan Misi Penerbangan Ke Irian Jaya Bersama Beberapa Misionaris Lainnya "Elisabeth Betty Greene".


Elisabeth “Betty” Greene


Meskipun Betty Greene tidak menganggap dirinya sebagai pendiri MAF (Mission Aviation Fellowship), namun pada kenyataannya dialah yang bekerja paling banyak pad tahun-tahun pengajuan konsep organisasi misi penerbangan (mission aviation) sebagai sebuah pelayanan misi kusus. Lebih jau lagi, dia adalah staf pekerja fulltime pertama dan pilot pertama yang terbang pada saat organisasi itu baru terbentuk meskipun dia seorang wanita, pengalaman dan keahliannya sebagai pilot tidak diragukan lagi. Betty bekerja di Air Force selama bulan-bulan pertama perang dunia II, menerbangkan misi-misi radar dan terakhir dia ditugaskan untuk mengembangkan beberapa proyek rahasia termasuk menerbangkan pesawat-pesawat pengebom B-17. Namun pelayanan di dunia militer bukanlah pilihan karir Betty. Oleh karena itu sebelum PD II berakhir dia telah meninggalkan dunia militer dan memulai pelayanan seumur hidupnya sebagai seorang pilot misionaris. Betty tertarik di dunia penerbangan sejak dia masih kecil. Pada usianya ke-16, dia mengikuti pelajaran penerbangan. Saat masih kulia di Universitas Washington, Betty mendaftarkan diri untuk mengikuti program pelatihan pilot pemerintah sipil. Program ini mempersiapkan dirinya untuk mencapai mimpinya menjadi seorang pilot misionaris. Dia bergabung dalam WASP (Woman’s Air Force Service Pilots), motivasi utamanya mencari pengalaman yang nantinya akan membantu Betty dalam melakukan pelayanan misi. Pada waktu luangnya, Betty menyempatkan diri untuk menulis sebuah artikel yang diterbitkan oleh Inter-Varsity HIS Magazine. Artikel tersebut menjelaskan tentang pentingnya misi penerbangan dan sekaligus rencana-rencananya untuk mewujudkan impiannya itu. Tulisan Betty tersebut mendapat perhatian dari Jim Truxton, seorang pilot angkatan laut yang sedang mendiskusikan mengenai masalah misi penerbangan dengan dua orang temannya. Jim menghubungi Betty dan memintanya untuk bergabung dengan dan mendirikan organisasi misi penerbangan. 




Tahun 1945, sesaat menolong pelayanan mereka di Mexiko. Setelah beberapa bulan melayani di Mexiko, Betty diminta oleh Cameron Townsend (pendiri Wycliffe), untuk menolong pelayanan di Peru. Tugas Betty dalam pelayanan di Peru adalah menerbangkan para misionaris dan persediaan ke daerah pedalaman. Setiap kali terbang dia selalu melewati puncak-puncak pegunungan Andes, hal itu menjadikan dirinya sebagai pilot wanita pertama yang melakukan penerbangan tersebut. Betty “mengabdikan dirinya” kepada para misionaris di Ethiopia, Sudan, Kenya, dan Kongo. Pada tahun 1960, Betty menjalani tugas penerbangannya yang terakhir yaitu ke Irian Jaya. Tugas terakhir tersebut tidak hanya berbahaya tetapi juga sulit karena kondisi hutannya yang berliku-liku dan mengerikan. Untuk menerima bantuan dari misi penerbangan, setiap pos misi harus membangun sendiri tempat tinggal landas pesawat. Sebelum pendaratan dilakukan, seorang pilot yang berpengalaman harus terlebih dahulu terbang melintasi wilaya tersebut untuk memastikan keadaannya. Karena sebagian besar tugas Betty adalah di udara, dia segerah menyadari bahwa dia tidak dapat mengimbangi teman sekerjanya, Leona St. John, atau 8 orang suku Moni yang membawakan barang-barangnya saat mereka menyusuri hutan di wilaya Irian Jaya.




 Leona tampaknya telah terbiasa dengan hujan tropis yang terjadi setiap hari, melewati jembatan kayu dan tumbuhan yang gremesik bunyinya, bahkan juga saat melalui lahan berlumpur yang sangat licin. Betty mengatakan bahwa dia tidak menyadari seberapa beratnya perjalanan tersebut. Namun kelelahan fisik yang dialaminya segrah tergantikan dengan ketakutan saat secara tidak sengaja rombongan Betty itu terjebak di tengah-tengah peperangan antar suku – mereka menyaksikan pemandangan kematian dan pembunuhan yang mengerikan. Tapi semua ketakutan dan kelelahan yang dialami dalam menempuh perjalanan itu akhirnya terobati saat Betty, Leona dan para pembawa barangnya tiba didesa tujuan mereka. Sambutan yang ramah diterima dari penduduk dan sepasang misionaris yang telah bertugas di sana. Terlebih dari itu Betty menemukan tempat untuk pesawatnya mendarat. Perayaan yang sebenarnya baru terjadi keesokan harinya saat seorang pekerja MAF mendarat dengan membawa semua persediaan yang dibutuhkan. Pelayanan Betty mendapatkan banyak penghargaan. Namun pengalaman yang tak terlupakan sepanjang karirnya adalah saat dia melayani di Irian Jaya selama hampir dua tahun. Saat Betty di wawancarai pada tahun 1967 tentang apakah dia akan “mendorong seorang wanita untuk melakukan pelayanan seperti yang dia lakukan, “Betty menjawab “MAF tidak setuju dan juga saya.. kami memiliki tiga alasan mengapa kami tidak menerima wanita untuk pelayanan ini:
1)      Sebagian besar wanita tidak terlatih dalam hal mekanis.
2)      Kebanyakan tugas pelayanan dalam misi penerbangan merupakan tugas yang berat. Misalnya ada kargo yang besar yang harus diangkut dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh seorang wanita.
3)      Fleksibilitas; misalnya, jika ada sebuah tempat yang mengharuskan seorang pilot tinggal disana selama beberapa hari/minggu, anda tidak akan dapat meminta seorang wanita untuk melakukannya.” Tanpa menghiraukan kebijaksanaan MAF masa lampau tentang deskriminasi gender tersebut, sampai saat ini masih banyak wanita yang terjun dalam pelayanan misi penerbangan. Sekarang setelah lebih dari satu dekade munculnya kesadaran feminisme, kebijaksanaan MAF mengalami perubahan. Para wanita dapat diterima sebagai pilot. Baru-baru ini, Gina Jordon yang memiliki 15.000 jam terbang sebagai pilot telah meninggalkan pekerjaan di Kanada dan bergabung dengan MAF sebagai seorang pilot untuk pelayanan di kenya.


Wednesday, 14 October 2015

"Ya Tuhan hidup atau mati biarlah aku berada ditengah-tengah bangsa Batak ini untuk menyebarkan Firman dan Kerajaan-Mu" kata-kata Nommensen 11 November 1863.

 INGWER LUDWING NOMMENSEN


Nommensen adalah seorang tokoh pekabar Injil berkebangsaan Jerman yang terkenal di Indonesia. hasil dari pekerjaannya adalah dirinya sebuah denominasi gereja terbesar di wilayah suku bansa Batak Toba. Gereja itu bernama Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tidak berlebihan jikalau ia di beri gelar Rasul Batak. Ia sudah memberikan seluruh hidupnya bagi pekerjaan pekabaran Injil di tanah Batak. Nommensen di lahirkan pada tanggal 6 Februari 1834 di sebuah pulau kecil, Noordstrand, di jerman utara. Nommensen sejak kecil sudah hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. sejak kecil ia sudah mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Ayahnya adalah seorang yang miskin melarat dan selalu sakit-sakitan. Pada umur 8 tahun ia mencari nafkah pada musim panas dengan menggembalakan domba milik orang lain dan pada musim dingin ia bersekolah. pada umur 10 tahun ia menjadi buruh tani sehingga pekerjaan itu tidak asing lagi baginya. Semuanya ini nampaknya persiapan bagi pekerjaannya sebagai pekerjaan pekabaran injil di kemudian hari. Tahun 1846 Nommensen mengalami kecelakaan yang serius. Pada waktu ia bermain kejar-kejaran dengan temannya, tiba-tiba ia ditabrak oleh kereta berkuda. Kereta kuda itu menggilas kakinya sehingga patah. Terpaksa ia berbaring saja di tempat tidur berbulan-bulan lamanya. Teman-temannya biasanya datang menceritakan pelajaran dan cerita-cerita yang disampaikan guru di sekolah. Cerita-cerita itu kebanyakan tentang pengalaman-pengalaman pendeta-pendeta yang pergi memberitakan Injil kepada banyak orang dan Nommensen sangat tertarik dengar cerita-cerita itu. Lukanya menjadi semakin parah sehingga ia tidak dapat berjalan sama sekali. Sekalipun sakit, Nommensen belajar merajut kaos, menjahit dan menambal sendiri pakaiannya yang robek. Pada suatu hari ia membaca Yohanes 16:23-26, tentang kata-kata Tuhan Yesus bahwa siapa yang meminta kepada bapa di surga maka bapa akan mengabulkannya. Nommensen bertanya kepada ibunya, apakah perkataan Yesus itu masih berlaku atau tidak. Ibunya meyakinkannya bahwa perkataan itu masih berlaku. Ia meminta ibunya berdoa bersama-sama. Nommensen meminta kesembuhan dan berjanji, jikalau ia sembuh maka ia akan pergi memberitakan injil. Dan memang doanya di kabulkan karena beberapa minggu kemudian kakinya sembuh. Setelah sembuh Nommensen kembali menggembalakan domba lagi tapi janjinya selalu mengejarnya untuk segera di penuhi. Akhirnya ia melamar untuk menjadi penginjil pada Lembaga Pekabaran Injil Rhein (RMG). Beberapa tahun lamanya ia belajar sebagai calon pekabar Injil. 


Tahun 1861 ia ditabiskan menjadi pendeta. Dan sesudah ia berangkat menuju sumatra dan tiba pada bulan Mei 1862 di padang ia mulai pekerjaannya di Barus.  Ia belajar bahasa Batak dan bahasa Melayu yang dengan cepat sekali dikuasainya. Sekarang ia mulai mengadakan kontak-kontak dengan orang-orang Batak, terutama dengan raja-raja. Ia tidak jemu mengadakan perjalanan keliling untuk menciptakan hubungan pergaulan yang baik. Ia mempelajari adat-istiadat Batak dan mempergunakannya guna mempererat pergaulan. Nommensen meminta ijin untuk masuk ke pedalaman namun dilarang oleh pemerintah, karena sangat berbahaya bagi seorang asing. Namun Nommensen tidak takut. Ia memilih Silindung sebagai tempat tinggalnya yang baru. Ia mendapat gangguan yang hebat di sini, namun ia tidak putus asa. Ia berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama di hutan Dame (Kampung Damai). Tahun 1873 ia mendirikan sebuah gedung gereja sekolah dan rumahnya sendiri di Pearaja. Sampai sekarang Pearaja tetap menjadi pusat HKBP. Pekerjaan Nommensen di berkati Tuhan sehingga injil tersebar menjadi luas. Sekali lagi ia memindahkan tempat tinggalnya ke kampung Sigumpar, pada tahun 1891 dan ia tinggal di sini  sampai dengan meninggalnya. Nommensen memberitakan Injil dengan berbagai macam cara. Ia menterjemahkan PB ke dalam bahasa Toba dan menerbitkan cerita-cerita Batak. Ia juga berusaha memperbaiki pertanian, peternakan, meminjamkan modal, menebus hamba-hamba dari tuan-tuannya, dan membuka sekolah-sekolah serta balai-balai pengobatan. Dalam pekerjaan pekabaran Injil ia menyadari perlunya mengikutsertakan orang-orang Batak sehingga dibukalah sekolah penginjil-penginjil Batak pribumi. Juga untuk memenuhi kebutuhan guru-guru sekolah, dibukanya sekolah pendidikan guru. Karena kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan maka pimpinan RMG mengangkatnya menjadi Ephorus (ketua sinode) pada tahun 1881. Pada hari ulang tahunnya yang ke-70, Universitas Bonn memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Nommensen. Pada akhirnya Nommensen meninggal pada umur yang sangat tua, 84 tahun. Ia meninggal pada tanggal 12 Mei 1918. Nommensen di kuburkan di Sigumpar di tengah-tengah suku bangsa Batak setelah bekerja dalam kalangan suku bangsa ini selam 57 tahun lamanya. Ingwer Ludwing Nommensen melayani di batak sampai nafas terakhirnya sungguh pengabdian yang luar biasa kepada Tuhan Yesus Kristus dan suku bangsa Batak. 




Sumber : Buku Chariot of Fire
(Menanti Bangkitnya Generasi Elisa) Hal : 42-43.

Tuesday, 13 October 2015

ACEH SINGKIL MEMANAS, GEREJA DIBAKAR MASSA.

ACEH SINGKIL MEMANAS, GEREJA DIBAKAR MASSA

 

Kondisi Gereja yang terbakar akibat aksi massa (Foto beritasatu

Situasi di Aceh Singkil memanas dan aksi pembakaran rumah ibadah umat kristen pun tak dapat dihindari di Desa Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan. Hal ini merupakan buntut protes sejumlah massa atas sikap pemerintah daerah yang dianggap abai terhadap rumah ibadah yang disebut tak sesuai ijin. Sebagaimana dilaporkan oleh The Globe Journal, Selasa (13/10), aksi anarkis dari sejumlah massa ini memicu kisruh. Akibatnya 3 orang menjadi korban, satu diantaranya merupakan anggota TNI. Kisruh pun meluas dari lokasi gereja hingga memasuki wilayah desa. Massa yang terbakar emosi melakukan protes atas semakin bertambahnya rumah ibadah umat Kristen di wilayah Singkil. Dalam aksinya mereka membawa berbagai senjata tajam seperti tombak dan parang. Beberapa hari sebelum peristiwa disebutkan bahwa beredar pesan berantai yang mengajak masyarakat untuk bertindak membongkar gereja. “Akan ada aksi pembakaran gereja pada hari Selasa” bunyi pesan yang dilaporkan dari salah satu sumber. Sementara itu merujuk pada laporan SerambiNews, sehari sebelum kejadian telah dilakukan pertemuan antara pihak Bupati Aceh Singkil, Safriadi bersama perwakilan ormas dan tokoh masyarakat setempat. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa dalam 2 pekan setelah pertemuan akan dibongkar 10 gereja. Adapun 10 nama gereja yang didesak untuk dibongkar antara lain GKPPD Desa Sukamakmur di Kecamatan Gunung Meriah, GKPPD Pertabas, GKPPD Kuta Tinggi, GKPPD Tutuhan, GKPPD Dangguran di Kecamatan Simpang Kanan, GKPPD Mandumpang, GKPPD Siompin, GMII Siompin di Kecamatan Suro, GKPPD Situbuhtubuh di Kecamatan Danau Paris serta Gereja Katolik Lae Balno di Danau Paris. Pada pertemuan itu disepakati bahwa rumah ibadah yang tidak dibongkar wajib mengurus izin dalam kurun waktu enam bulan. Para tokoh ulama pun diminta menenangkan umat demi menghindari kejadian yang tak diinginkan. Disepakati pula bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan merujuk undang-undang. Hasil kesepakatan selanjutnya akan disosialisasikan Muspida di Masjid Lipat Kajang Bawah, Kecamatan Simpang Kanan, malam itu juga.
 

Aksi PPI (Pemuda Peduli Islam) sepekan sebelumnya (Aceh Tribunnews)

Dilaporkan juga bahwa sebelumnya, massa yang mengatasnamakan Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil, sepekan sebelumnya menggelar unjuk rasa. Massa mendesak pemerintah agar membongkar gereja yang tak memiliki ijin. Mereka membuat ultimatum yang memberi pemerintah daerah waktu sepekan untuk melakukan pembongkaran atau massa yang akan membongkar. Pada hari ini massa tersebut akhirnya memenuhi ultimatumnya. Namun disayangkan aksi sepihak ini berakhir dengan pembakaran dan memakan 
korban.




Sumber : margasiswa.org