Wednesday 28 October 2015

Pilot & Juga Sorang Misionaris Perempuan Yang Pernah Melakukan Misi Penerbangan Ke Irian Jaya Bersama Beberapa Misionaris Lainnya "Elisabeth Betty Greene".


Elisabeth “Betty” Greene


Meskipun Betty Greene tidak menganggap dirinya sebagai pendiri MAF (Mission Aviation Fellowship), namun pada kenyataannya dialah yang bekerja paling banyak pad tahun-tahun pengajuan konsep organisasi misi penerbangan (mission aviation) sebagai sebuah pelayanan misi kusus. Lebih jau lagi, dia adalah staf pekerja fulltime pertama dan pilot pertama yang terbang pada saat organisasi itu baru terbentuk meskipun dia seorang wanita, pengalaman dan keahliannya sebagai pilot tidak diragukan lagi. Betty bekerja di Air Force selama bulan-bulan pertama perang dunia II, menerbangkan misi-misi radar dan terakhir dia ditugaskan untuk mengembangkan beberapa proyek rahasia termasuk menerbangkan pesawat-pesawat pengebom B-17. Namun pelayanan di dunia militer bukanlah pilihan karir Betty. Oleh karena itu sebelum PD II berakhir dia telah meninggalkan dunia militer dan memulai pelayanan seumur hidupnya sebagai seorang pilot misionaris. Betty tertarik di dunia penerbangan sejak dia masih kecil. Pada usianya ke-16, dia mengikuti pelajaran penerbangan. Saat masih kulia di Universitas Washington, Betty mendaftarkan diri untuk mengikuti program pelatihan pilot pemerintah sipil. Program ini mempersiapkan dirinya untuk mencapai mimpinya menjadi seorang pilot misionaris. Dia bergabung dalam WASP (Woman’s Air Force Service Pilots), motivasi utamanya mencari pengalaman yang nantinya akan membantu Betty dalam melakukan pelayanan misi. Pada waktu luangnya, Betty menyempatkan diri untuk menulis sebuah artikel yang diterbitkan oleh Inter-Varsity HIS Magazine. Artikel tersebut menjelaskan tentang pentingnya misi penerbangan dan sekaligus rencana-rencananya untuk mewujudkan impiannya itu. Tulisan Betty tersebut mendapat perhatian dari Jim Truxton, seorang pilot angkatan laut yang sedang mendiskusikan mengenai masalah misi penerbangan dengan dua orang temannya. Jim menghubungi Betty dan memintanya untuk bergabung dengan dan mendirikan organisasi misi penerbangan. 




Tahun 1945, sesaat menolong pelayanan mereka di Mexiko. Setelah beberapa bulan melayani di Mexiko, Betty diminta oleh Cameron Townsend (pendiri Wycliffe), untuk menolong pelayanan di Peru. Tugas Betty dalam pelayanan di Peru adalah menerbangkan para misionaris dan persediaan ke daerah pedalaman. Setiap kali terbang dia selalu melewati puncak-puncak pegunungan Andes, hal itu menjadikan dirinya sebagai pilot wanita pertama yang melakukan penerbangan tersebut. Betty “mengabdikan dirinya” kepada para misionaris di Ethiopia, Sudan, Kenya, dan Kongo. Pada tahun 1960, Betty menjalani tugas penerbangannya yang terakhir yaitu ke Irian Jaya. Tugas terakhir tersebut tidak hanya berbahaya tetapi juga sulit karena kondisi hutannya yang berliku-liku dan mengerikan. Untuk menerima bantuan dari misi penerbangan, setiap pos misi harus membangun sendiri tempat tinggal landas pesawat. Sebelum pendaratan dilakukan, seorang pilot yang berpengalaman harus terlebih dahulu terbang melintasi wilaya tersebut untuk memastikan keadaannya. Karena sebagian besar tugas Betty adalah di udara, dia segerah menyadari bahwa dia tidak dapat mengimbangi teman sekerjanya, Leona St. John, atau 8 orang suku Moni yang membawakan barang-barangnya saat mereka menyusuri hutan di wilaya Irian Jaya.




 Leona tampaknya telah terbiasa dengan hujan tropis yang terjadi setiap hari, melewati jembatan kayu dan tumbuhan yang gremesik bunyinya, bahkan juga saat melalui lahan berlumpur yang sangat licin. Betty mengatakan bahwa dia tidak menyadari seberapa beratnya perjalanan tersebut. Namun kelelahan fisik yang dialaminya segrah tergantikan dengan ketakutan saat secara tidak sengaja rombongan Betty itu terjebak di tengah-tengah peperangan antar suku – mereka menyaksikan pemandangan kematian dan pembunuhan yang mengerikan. Tapi semua ketakutan dan kelelahan yang dialami dalam menempuh perjalanan itu akhirnya terobati saat Betty, Leona dan para pembawa barangnya tiba didesa tujuan mereka. Sambutan yang ramah diterima dari penduduk dan sepasang misionaris yang telah bertugas di sana. Terlebih dari itu Betty menemukan tempat untuk pesawatnya mendarat. Perayaan yang sebenarnya baru terjadi keesokan harinya saat seorang pekerja MAF mendarat dengan membawa semua persediaan yang dibutuhkan. Pelayanan Betty mendapatkan banyak penghargaan. Namun pengalaman yang tak terlupakan sepanjang karirnya adalah saat dia melayani di Irian Jaya selama hampir dua tahun. Saat Betty di wawancarai pada tahun 1967 tentang apakah dia akan “mendorong seorang wanita untuk melakukan pelayanan seperti yang dia lakukan, “Betty menjawab “MAF tidak setuju dan juga saya.. kami memiliki tiga alasan mengapa kami tidak menerima wanita untuk pelayanan ini:
1)      Sebagian besar wanita tidak terlatih dalam hal mekanis.
2)      Kebanyakan tugas pelayanan dalam misi penerbangan merupakan tugas yang berat. Misalnya ada kargo yang besar yang harus diangkut dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh seorang wanita.
3)      Fleksibilitas; misalnya, jika ada sebuah tempat yang mengharuskan seorang pilot tinggal disana selama beberapa hari/minggu, anda tidak akan dapat meminta seorang wanita untuk melakukannya.” Tanpa menghiraukan kebijaksanaan MAF masa lampau tentang deskriminasi gender tersebut, sampai saat ini masih banyak wanita yang terjun dalam pelayanan misi penerbangan. Sekarang setelah lebih dari satu dekade munculnya kesadaran feminisme, kebijaksanaan MAF mengalami perubahan. Para wanita dapat diterima sebagai pilot. Baru-baru ini, Gina Jordon yang memiliki 15.000 jam terbang sebagai pilot telah meninggalkan pekerjaan di Kanada dan bergabung dengan MAF sebagai seorang pilot untuk pelayanan di kenya.


0 comments:

Post a Comment