JIM YOST MISIONARIS UNTUK SUKU SAWI IRIAN JAYA

Saya perhatikan, di tempat tugas yang terpencil itu mereka selalu rindu kembali ketempat asal, selalu berfikir kapan kembali pada keluarga dan teman-teman? Saya yakin untuk menjadi misionaris yang berhasil seorang harus putus hubungan denagn kampung halamannya, seperti membakar jembatan dan kapal-kapal sehingga tidak bisa kembali pulang kalau ada kesempatan kembali, semata-mata anugrah Tuhan, kita harus siap untuk pergi dan pergi terus tanpa berfikir kembali, “ kata Jim yang sekarang fasih berbahasa Indonesia dan sudah 20 tahun hidup di antara suku sawi. “saya banyak mendengarkan tentang kegiatan misi jangka pendek (short-term mission), yang mereka sebut sebagai “misi kunjungan”. Itu baik dan dapat sedikit menolong Tetapi untuk menghasilkan pekerjaan yang besar dan bertahan lama harus ada orang yang mau bertahan hidup lama di satu wilaya dan tinggal terus-menerus disana dan menyatu denagan masyarakat setempat. Itulah yang perlu saya lakukan untuk menghilangkan identitas Amerika saya. Saya menyatu dengan suku sawi untuk mengambil nilai-nilai hidup saya sendiri,” ungkap Jim. Sebelum berangkat Jim banyak membaca buku-buku tentang Irian Jaya, tetapi pada waktu terjun ka medan pelayanan, ternyata realita banyak berbeda, dan lebih berat dari pada apa yang di tulis orang. Saat kami turun dari pesawat yang membawa kami, semua orang mengerumuni kami dengan keheran-heranan. Tubuh kami diraba-raba dan akhirnya dan akhirnya kami dibawa keperkampungan mereka. Rupanya mereka sudah menyiapkan pesta untuk menyambut kedatangan kami. Untuk menghormati kami sebagai tamu, mereka memberikan makanan khas, yaitu ulat sagu yang harus kami makan hidup-hidup!” katanya sambil memperagakan memasukan ulat yang menjijikan itu kedalam mulutnya. Lebih lanjut Jim menceritakan awal-awal pelayanannya di sana. “kami tau di sana sering terjadi perang suku, tetapi tidak menduga kalau pada hari pertama kami datang ada perang sungguhan di depan mata kami. Kejadian itu sangat mengejutkan kami.” Ternyata Jim dan istrinya tidak satu kali saja menghadapi peperangan semacam itu. Setiap minggu selama tahun-tahun pertama pelayanan mereka selalu terjadi perang suku. Tantangan lain datang bagi pasangan yang baru menikah ini, Jim terserang malaria dan hampir mati. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali, sehingga ia sendiri samapi lupa sudah berapa kali ia terserang penyakit berbahaya yang hampir merenggut nyawanya itu. “yang terpenting adalah hubungan pribadi dengan Tuhan. Hubungan yang erat dengan Tuhan setiap hari hidup melayani di perkotaan banyak mendapat dukungan dari orang lain. Kalau anda merasa “down”, anda dapat datang ke gereja dan mendengarkan khotbah yang bagus dari gembala yang menguatkan iman atau bila anda sedang kecewa, anda dapat memutar kaset-kaset rohani dan anda kembali di kuatkan. Tetapi hidup di hutan seperti kami, tidak memiliki hiburan apa-apa. Hanya diri sendiri bersama Tuhan. “tambahnya. Mengabarkan berita keselamatan kepada suku sawi tidalah mudah. Bertahun tahun Jim dan istrinya mengajar mereka tentang percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi tidak satupun yang mau percaya. Sementara itu istri Jim bekerja di poliklinik, menolong orang-orang sakit. Kebanyakan orang-orang sawi itu sakit borok di kaki, sampai kelihatan tulangnya. Dengan penuh kasih mereka di obati atau di suntik dan di doakan. Ajaib, dalam waktu dua tiga hari penyakit itu sembuh. Perjuangan Jim tidak sia-sia Ia baru berumur 24 tahun tatkala ia bersama istri tercintanya masuk ke pedalaman hutan belantara Irian demi keselamatan saudara-saudaranya”, suku sawi, di Irian bagian selatan. Apa yang ia tabur, kini sudah berbuah. Oleh pertolongan Tuhan saat ini berdiri tujuh sidang jemaat suku sawi. Jim Yost mengungkapkan selama enam bulan ia baru bisa berkomunikasi dengan bahasa sawi dan setelah satu tahun ia lebih lancar lagi, sehingga ia dapat menjelaskan hal-hal rohani. Setiap hari ia bersama laki-laki Sawi pergi berburu ke hutan dan istrinya juga masuk ke hutan dan istrinya juga masuk ke hutan bersama para wanita sawi untuk mencari sagu. Dengan cara itu ia menjadi cepat menangkap bahasa sawi sampai ia dapat menyelesaikan penerjemahan Alkitab perjanjian baru kedalam bahasa Sawi. Pada saat ini Ia sedang menerjemahkan Alkitab Perjanjian lama bersama-sama orang-orang Sawi dan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Ketika di tanya apakah pergumulan berat yang dialami selama berada di Irian, Jim menjelaskan, “sebenarnya ini adalah rahasia. Munkin orang lain melihat misionaris itu orang yang kuat secara rohani.
Itu
tidak benar! Ada pergumulan berat ketika iblis mencobai dengan perasaan di
tinggalkan. Kami melayani di tengah hutan Irian dan tidak ada kontak dengan
orang-orang luar. Orang-orang di gereja asal kami tidak tahu apa yang terjadi
dengan kami. Orang-orang di jakarta atau tempat-tempat lain melupakan kami,
walaupun kami kirimkan pokok-pokok doa mengenai pelayanan kami tapi mereka lupa
berdoa bagi kami. Kami sendirian. Tuhan mengijinkan iblis mencobai dengan
perasaan itu. Tidak ada orang atau organisasi yang memperhatikan kami. Sebab
itu banyak misionaris yang pulang kenegerinya karena patah semangat.” Sampai hari ini Jim Yost sudah lebih dari 20
tahun tinggal bersama keluarganya di tengah saudara-saudaranya, suku Sawi.
Mereka berkata bahwa Irian adalah tanah airnaya dan dia telah dan dia telah
menyatu dalam hidup dan budaya budaya sawi. Dalam pelayanannya, Jim berusaha menerapkan
terpadu pelayanan secara utuh yang meliputi roh, jiwa dan tubuh. Ia tidak hanya
mengajarkanhal-hal rohani tetapi Ia juga membuka sekolah memberantas buta
huruf, mengajarkan kursus peternakan pelayanan kesehatan, proyek air bersih dan
lain-lain. Jim yakin apabila mereka menerima keselamatan maka Tuhan akan
mengubah semuah kehidupan mereka. Meskipun suku-suku terasing di pedalaman
Irian seperti suku Sawi di tinggalkan dunia modern, tetapi mereka tetap di
perhatikan Tuhan. Ia telah mengirim hambanya untuk menyelamatkan mereka. Ia
yang dulu telah menciptakan suku-suku bangsa, Ia pula yang akan menyelamatkan
mereka dengan cara-Nya sendiri.
Diedit dari sumber:
Judul buku : Chariot of Fire
0 comments:
Post a Comment