Monday, 2 March 2015

MISIONARIS

  JIM YOST MISIONARIS UNTUK SUKU SAWI IRIAN JAYA

   
Jim Yost berumur 13 tahun ketika ayahnya meninggal dan ibunya adalah seorang kristen yang taat. Memasuki usia remaja, tanpa figur seorang ayah membuatnya terombang-ambing oleh lingkungan sehingga akhirnya ia terjerumus ke lembah kelam: narkotika. Hari-hari dilaluinya tanpa kedamaian. Dunia obat bius begitu menjeratnya sampai ia harus meringkuk dalam penjara. Namun Tuhan dengan kasi-Nya yang begitu besar menjamah Jim, dan membawa Jim masuk kedalam rencana-Nya. Tuhan membawa Jim pada suatu rencana agung yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia akan menjadi seorang misionaris apalagi ke tempat yang begitu jau, yang sering di sebut sebagai ujung bumi: Irian! (sekarang Papua, red.) perjalanan misinya dimulai ketika ia, setelah pertobatannya menjadi mahasiswa di sebuah seminari di California, USA. Sebenarnya Jim hanaya ingin belajar satu tahun, tetapi entah karena apa setelah satu tahun dilewati di seminar ia meneruskan lagi sampai empat tahun. Pada tahun ketiga ia belajar, ada sebuah jemaat di Oregon, USA, yang gembalanya baru kembali setelah menjadi misionaris selama 30 tahun di Tailand. Jim bekerja sama dengan misionaris itu selama 2 bulan. Dalam waktu yang singkat itulah Tuhan menaruh Visi untuk pelayanan misi sedunia ke dalam hati Jim. Setelah menyelesaikan tahun keempat, ada praktek pelayanan ke luar negri. Jim dikirim ke Korea selatan dan Jepang. Tujuan praktek pelayanan ini adalah mencari peneguhan supaya para mahasiswa tau pasti kemana mereka harus melayani. Jim berada di Korea selama satu bulan dan di jepang selama satu bulan. Selama di Korea Jim merasa senang melihat gereja yang berkembang pesat. Namun panggilan Tuhan belum datang ketika ia berada di Korea. Ketika berada di Koyoto, kota pusat penyembahan berhala di Jepang, Jim satu kali berdoa semalam suntuk dan ia berkata kepada Tuhan, “Tuhan, saya tidak suka tinggal di negri asing. Saya tidak suka makan makanan yang aneh. Saya tidak bisa berkomunikasi karena bahasa mereka berbeda saya tidak mampu. Saya tidak akan bisa menjadi seorang misionaris.” Dan Tuhan menjawab dengan tegas, “Jim engkau tidak bisa menjadi misionaris, tetapi aku bisa menjadi engkau seorang misionaris.” Mulai saat itu Jim sadar dan tidak mau bergantung pada kemampuan dan keinginannya sendiri. Ia hanya ingin bergantung kepada kemampuan dan kehendak Tuhanny. Ia bahkan punya kepastian bahwa akan datang harinya dimana Tuhan akan membawanya keluar dari Amerika dan melayani di luar negeri. Ia tahu bahwa pintu akan dibukakan dan itu pasti terjadi. Sekembalinya dari Jepang, Jim bersama isterinya kembali ke bangku kulia untuk belajar Linguistik (Ilmu bahasa) dan Misiologi selama satu tahun di Fuller Seminary, L.A./Pasadena. Ini adalah persiapan yang akan di pakai untuk menerjemahkan Alkitab kedalam bahasa suku terasing di Irian Jaya. Saya mau melakukan pelayanan dimana orang lain tidak mau melakukannya. Dimana ada ladang pelayanan yang tidak diinginkan orang lain atau tidak bisa di laksanakan orang lain, saya akan masuk kesana.” kata Jim. Sebab itu Jim dan istrinya bertanya kepada teman-temannya dimana suku yang belum di injili dan belum ada kontak dengan dunia luar. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke suku Sawi di pe-dalaman Irian Jaya. Suku Sawi terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian utara dan bagian selatan . Pelayanan misi di bagian selatan telah d rintis oleh Don Richardson, sementara kontak dengan bagian utara sangat kurang. Di suku sawi utara inilah Jim dan istrinya masuk sebagai misionaris pertama sampai hari ini. Meninggalkan budaya hidup Amerika merupakan pergumulan tersendiri bagi Jim Yost. Menurutnya situasi di Amerika atau Jakarta sangat berbeda dengan Irian Jaya. Pelayanan di Jakarta itu terlalu enak, terlalu mudah untuk bergantung pada orang lain. Tapi pelayanan di hutan belantara Irian Jaya, tinggal seorang diri dengan keluarganya di tempat terpencil, kepada siapakah mereka bisa bergantung selain kepada Tuhan saja? Itulah sebabnya sejak semulah Jim sudah menyiapkan mentalnya. Sekali berangkat ke Irian Jaya, ia memutuskan untuk “membakar semua jabatan”  yang dapat mengantarnya pulang kembali ke Amerika. “Ada orang mau menjadi misionaris untuk jangka waktu satu atau dua tahun, ada juga yang samapai empat tahun. 


Saya perhatikan, di tempat tugas yang terpencil itu mereka selalu rindu kembali ketempat asal, selalu berfikir kapan kembali pada keluarga dan teman-teman? Saya yakin untuk menjadi misionaris yang berhasil seorang harus putus hubungan denagn kampung halamannya, seperti membakar jembatan dan kapal-kapal sehingga tidak bisa kembali pulang kalau ada kesempatan kembali, semata-mata anugrah Tuhan, kita harus siap untuk pergi dan pergi terus tanpa berfikir kembali, “ kata Jim yang sekarang fasih berbahasa Indonesia dan sudah 20 tahun hidup di antara suku sawi. “saya banyak mendengarkan tentang kegiatan misi jangka pendek (short-term mission), yang mereka sebut sebagai “misi kunjungan”. Itu baik dan dapat sedikit menolong Tetapi untuk menghasilkan pekerjaan yang besar dan bertahan lama harus ada orang yang mau bertahan hidup lama di satu wilaya dan tinggal terus-menerus disana dan menyatu denagan masyarakat setempat. Itulah yang perlu saya lakukan untuk menghilangkan identitas Amerika saya. Saya menyatu dengan suku sawi untuk mengambil nilai-nilai hidup saya sendiri,” ungkap Jim. Sebelum berangkat Jim banyak membaca buku-buku tentang Irian Jaya, tetapi pada waktu terjun ka medan pelayanan, ternyata realita banyak berbeda, dan lebih berat dari pada apa yang di tulis orang. Saat kami turun dari pesawat yang membawa kami, semua orang mengerumuni kami dengan keheran-heranan. Tubuh kami diraba-raba dan akhirnya dan akhirnya kami dibawa keperkampungan mereka. Rupanya mereka sudah menyiapkan pesta untuk menyambut kedatangan kami. Untuk menghormati kami sebagai tamu, mereka memberikan makanan khas, yaitu ulat sagu yang harus kami makan hidup-hidup!” katanya sambil memperagakan memasukan ulat yang menjijikan itu kedalam mulutnya. Lebih lanjut Jim menceritakan awal-awal pelayanannya di sana. “kami tau di sana sering terjadi perang suku, tetapi tidak menduga kalau pada hari pertama kami datang ada perang sungguhan di depan mata kami. Kejadian itu sangat mengejutkan kami.” Ternyata Jim dan istrinya tidak satu kali saja menghadapi peperangan semacam itu. Setiap minggu selama tahun-tahun pertama pelayanan mereka selalu terjadi perang suku. Tantangan lain datang bagi pasangan yang baru menikah ini, Jim terserang malaria dan hampir mati. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali, sehingga ia sendiri samapi lupa sudah berapa kali ia terserang penyakit berbahaya yang hampir merenggut nyawanya itu. “yang terpenting adalah hubungan pribadi dengan Tuhan. Hubungan yang erat dengan Tuhan setiap hari hidup melayani di perkotaan banyak mendapat dukungan dari orang lain. Kalau anda merasa “down”, anda dapat datang ke gereja dan mendengarkan khotbah yang bagus dari gembala yang menguatkan iman atau bila anda sedang kecewa, anda dapat memutar kaset-kaset rohani dan anda kembali di kuatkan. Tetapi hidup di hutan seperti kami, tidak memiliki hiburan apa-apa. Hanya diri sendiri bersama Tuhan. “tambahnya. Mengabarkan berita keselamatan kepada suku sawi tidalah mudah. Bertahun tahun Jim dan istrinya mengajar mereka tentang percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi tidak satupun yang mau percaya. Sementara itu istri Jim bekerja di poliklinik, menolong orang-orang sakit. Kebanyakan orang-orang sawi itu sakit borok di kaki, sampai kelihatan tulangnya. Dengan penuh kasih mereka di obati atau di suntik dan di doakan. Ajaib, dalam waktu dua tiga hari penyakit itu sembuh. Perjuangan Jim tidak sia-sia Ia baru berumur 24 tahun tatkala ia bersama istri tercintanya masuk ke pedalaman hutan belantara Irian demi keselamatan saudara-saudaranya”, suku sawi, di Irian bagian selatan. Apa yang ia tabur, kini sudah berbuah. Oleh pertolongan Tuhan saat ini berdiri tujuh sidang jemaat suku sawi. Jim Yost mengungkapkan selama enam bulan ia baru bisa berkomunikasi dengan bahasa sawi dan setelah satu tahun ia lebih lancar lagi, sehingga ia dapat menjelaskan hal-hal rohani. Setiap hari ia bersama laki-laki Sawi pergi berburu ke hutan dan istrinya juga masuk ke hutan dan istrinya juga masuk ke hutan bersama para wanita sawi untuk mencari sagu. Dengan cara itu ia menjadi cepat menangkap bahasa sawi sampai ia dapat menyelesaikan penerjemahan Alkitab perjanjian baru kedalam bahasa Sawi. Pada saat ini Ia sedang menerjemahkan Alkitab Perjanjian lama bersama-sama orang-orang Sawi dan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Ketika di tanya apakah pergumulan berat yang dialami selama berada di Irian, Jim menjelaskan, “sebenarnya ini adalah rahasia. Munkin orang lain melihat misionaris itu orang yang kuat secara rohani.


Itu tidak benar! Ada pergumulan berat ketika iblis mencobai dengan perasaan di tinggalkan. Kami melayani di tengah hutan Irian dan tidak ada kontak dengan orang-orang luar. Orang-orang di gereja asal kami tidak tahu apa yang terjadi dengan kami. Orang-orang di jakarta atau tempat-tempat lain melupakan kami, walaupun kami kirimkan pokok-pokok doa mengenai pelayanan kami tapi mereka lupa berdoa bagi kami. Kami sendirian. Tuhan mengijinkan iblis mencobai dengan perasaan itu. Tidak ada orang atau organisasi yang memperhatikan kami. Sebab itu banyak misionaris yang pulang kenegerinya karena patah semangat.”  Sampai hari ini Jim Yost sudah lebih dari 20 tahun tinggal bersama keluarganya di tengah saudara-saudaranya, suku Sawi. Mereka berkata bahwa Irian adalah tanah airnaya dan dia telah dan dia telah menyatu dalam hidup dan budaya budaya sawi. Dalam pelayanannya, Jim berusaha menerapkan terpadu pelayanan secara utuh yang meliputi roh, jiwa dan tubuh. Ia tidak hanya mengajarkanhal-hal rohani tetapi Ia juga membuka sekolah memberantas buta huruf, mengajarkan kursus peternakan pelayanan kesehatan, proyek air bersih dan lain-lain. Jim yakin apabila mereka menerima keselamatan maka Tuhan akan mengubah semuah kehidupan mereka. Meskipun suku-suku terasing di pedalaman Irian seperti suku Sawi di tinggalkan dunia modern, tetapi mereka tetap di perhatikan Tuhan. Ia telah mengirim hambanya untuk menyelamatkan mereka. Ia yang dulu telah menciptakan suku-suku bangsa, Ia pula yang akan menyelamatkan mereka dengan cara-Nya sendiri.


 


Diedit dari sumber:
Judul buku :  Chariot  of Fire

0 comments:

Post a Comment