Thursday, 27 December 2018

SETIAP ORANG HARUS MEMILIKI ID DENGAN KODE UNIK

SETIAP ORANG HARUS 
MEMILIKI ID DENGAN KODE UNIK


Kebanyakan, hingga tahun 1985, Negara-negara tidak melakukan pemutakhiran terhadap ID card baik dalam bentuk maupun fungsinya. ID card hanya berupa sebuah kartu kertas, atau plastik, tidak adanya basis data terpadu (database/pangkalan data), tidak digunakan untuk fungsi strategis, dan mudah dipalsukan sehingga memungkinkan orang dapat memiliki lebih dari satu ID card. Sampai peristiwa 11 September 2001 (9/11) membuka mata dunia untuk menciptakan sebuah ID card yang terintegrasi. Mengapa demikian?

Setelah serangan teroris 9/11, Amerika Serikat (AS) sangat terguncang, dan peristiwa ini telah mengubah segalanya di dunia ini, termasuk sistem pencatatan kependudukan. AS merasa “kecolongan”, bagaimana mungkin teroris sebanyak itu bisa datang ke Negara mereka, tinggal, berlatih kemudian melancarkan serangan terorganisir tanpa terdeteksi sedikit pun?


Tidak lama setelah serangan 9/11, Larry Ellison, CEO perusahaan perangkat lunak pangkalan data terbesar didunia, Oracle, melemparkan ide agar pemerintah AS segera membuat National ID (KTP Nasional) bagi seluruh rakyat Amerika akan memiliki sebuah smart card (kartu pintar), mengganti ID card yang sudah ketinggalan zaman, dimana data dari KTP Nasional itu akan tersimpan di satu pangkalan data terpusat. Jika diperlukan, maka data warga negara akan mudah dilacak sehingga serangan-serangan teroris seperti peristiwa 9/11 bisa dihindari. Keistimewaan KTP Nasional ini adalah dengan adanya penambahan sebuah chip yang dapat memuat banyak informasi, seperti nomor induk penduduk yang unik (tunggal, tidak mungkin ada nomor ganda), data biometrik, hingga data DNA.
KTP Nasional ini bersifat multifungsi dan terintegrasi. Itu artinya KTP Nasional ini kelak bisa digunakan juga sebagai ATM, kartu kredit, SIM, kartu kesehatan, dan sebagainya. Dan data yang terkandung akan terintegrasi secara nasional bahkan global, seperti terhubung dengan data pemerintahan (seperti akte lahir), jaminan sosial, rumah sakit, perbankan, kepolisian, imigrasi (paspor), bahkan dengan data Interpol (polisi internasional).


Dengan segala kemudahan yang ditawarkan KTP Nasional tersebut, segalanya kelihatan baik bukan? Namun ternyata respon mayoritas warga AS keberatan dengan rencana KTP Nasional tersebut. Selain dapat melanggar hak-hak privasi warga negaranya data yang terintegrasi juga dikhawatirkan akan menjadikan AS dibawah pemerintahan yang otoriter. Namun pandangan warga negra AS itu berubah total saat mereka menyaksikan gempa dan tsunami Samudra Hindia tahun 2004. Mereka menyaksikan bagaimana bencana tersebut mengakibatkan ratusan ribu orang tewas (kebanyakan dari Aceh, Indonesia dan Thailand) tanpa bisa diidentifikasi. Mereka akhirnya hanya dikubur dalam kuburan masal tanpa diketahui namanya, tempat asal mereka, dan siapa sanak keluarganya. Melihat korban gempa dan tsunami yang tidak teridentifikasi, banyaknya aksi terorisme di dunia, dan maraknya kasus penculikan membuat kongres AS semakin yakin bahwa sudah seharusnya warga negaranya memiliki suatu identitas terpadu, dan jika mungkin ID tersebut “menempel” didalam tubuh (implantasi), sehingga tidak mungkin untuk tertinggal atau hilang.
Pada tahun 2005, kongres AS akhirnya menyetujui dan mengeluarkan undang-undang Kongres yang mengatur dokumen identitas yang baru. Tepatnya tanggal 11 Mei perintah AS resmi mengeluarkan REAL ID Act of 2005. Dengan masa peralihan selama 3 tahun, maka dijadwalkan semua kartu identitas warga AS yang lama akan selesai diperbaharui dan diganti dengan yang baru, yaitu REAL ID, pada tanggal 11 mei 2008.


Di tahun yang sama dengan dikeluarkannya undang-undang identitas berbasis implementasi yang diberi nama VeriChip, sebuah perangkat perekam data individu seukuran lebih besar sedikit dari beras yang biasanya ditanamkan diantara area bahu dan siku lengan kanan. REAL ID dan VeriChip berubah nama menjadi PositiveID akan menggantikannya. Namun karena doa-doa umat percaya di AS, PositiveID kemudian mendapat penolakan luar biasa dari masyarakat AS. Bahkan 3 negara bagian AS mengeluarkan undang-undang anti-chipping (penolakan penggunaan microchip pada tubuh). Banyak hamba Tuhan, gereja, aktivis, seperti Mark Dice, melalui bukunya “The Resistance Manifesto” memperingatkan Gereja Tuhan bahwa PositiveID berhubungan dengan Tanda Binatang seperti yang kitab Wahyu tulis. Demikian juga, Gary Wohlscheid, presiden The Last Days Ministry, menyatakan bahwa dari semua teknologi yang ada, PositiveID adalah teknologi yang paling berpotensi menjadi tanda Binatang itu. Hasilnya, sekalipun setelah melewati berbagai tes termasuk telah lulus pengujian Badan Obat dan Makanan AS (FDA) namun pada tahun 2010 pembuatan dan pemasaran PositiveID dihentikan hingga waktu yang tidak ditetukan. Bersambung! (BAGAIMANA DENGAN DI INDONESIA?)



0 comments:

Post a Comment