SETIAP ORANG HARUS
MEMILIKI ID DENGAN KODE UNIK
Kebanyakan,
hingga tahun 1985, Negara-negara tidak melakukan pemutakhiran terhadap ID card
baik dalam bentuk maupun fungsinya. ID card hanya berupa sebuah kartu kertas,
atau plastik, tidak adanya basis data terpadu (database/pangkalan data), tidak
digunakan untuk fungsi strategis, dan mudah dipalsukan sehingga memungkinkan
orang dapat memiliki lebih dari satu ID card. Sampai peristiwa 11 September
2001 (9/11) membuka mata dunia untuk menciptakan sebuah ID card yang
terintegrasi. Mengapa demikian?
Setelah
serangan teroris 9/11, Amerika Serikat (AS) sangat terguncang, dan peristiwa
ini telah mengubah segalanya di dunia ini, termasuk sistem pencatatan
kependudukan. AS merasa “kecolongan”, bagaimana mungkin teroris sebanyak itu
bisa datang ke Negara mereka, tinggal, berlatih kemudian melancarkan serangan
terorganisir tanpa terdeteksi sedikit pun?
Tidak
lama setelah serangan 9/11, Larry Ellison, CEO perusahaan perangkat lunak
pangkalan data terbesar didunia, Oracle, melemparkan ide agar pemerintah AS
segera membuat National ID (KTP Nasional) bagi seluruh rakyat Amerika akan
memiliki sebuah smart card (kartu pintar), mengganti ID card yang sudah
ketinggalan zaman, dimana data dari KTP Nasional itu akan tersimpan di satu
pangkalan data terpusat. Jika diperlukan, maka data warga negara akan mudah
dilacak sehingga serangan-serangan teroris seperti peristiwa 9/11 bisa
dihindari. Keistimewaan KTP Nasional ini adalah dengan adanya penambahan sebuah
chip yang dapat memuat banyak informasi, seperti nomor induk penduduk yang unik
(tunggal, tidak mungkin ada nomor ganda), data biometrik, hingga data DNA.
KTP
Nasional ini bersifat multifungsi dan terintegrasi. Itu artinya KTP Nasional
ini kelak bisa digunakan juga sebagai ATM, kartu kredit, SIM, kartu kesehatan,
dan sebagainya. Dan data yang terkandung akan terintegrasi secara nasional
bahkan global, seperti terhubung dengan data pemerintahan (seperti akte lahir),
jaminan sosial, rumah sakit, perbankan, kepolisian, imigrasi (paspor), bahkan
dengan data Interpol (polisi internasional).
Dengan
segala kemudahan yang ditawarkan KTP Nasional tersebut, segalanya kelihatan
baik bukan? Namun ternyata respon mayoritas warga AS keberatan dengan rencana
KTP Nasional tersebut. Selain dapat melanggar hak-hak privasi warga negaranya
data yang terintegrasi juga dikhawatirkan akan menjadikan AS dibawah
pemerintahan yang otoriter. Namun pandangan warga negra AS itu berubah total
saat mereka menyaksikan gempa dan tsunami Samudra Hindia tahun 2004. Mereka
menyaksikan bagaimana bencana tersebut mengakibatkan ratusan ribu orang tewas
(kebanyakan dari Aceh, Indonesia dan Thailand) tanpa bisa diidentifikasi.
Mereka akhirnya hanya dikubur dalam kuburan masal tanpa diketahui namanya,
tempat asal mereka, dan siapa sanak keluarganya. Melihat korban gempa dan
tsunami yang tidak teridentifikasi, banyaknya aksi terorisme di dunia, dan
maraknya kasus penculikan membuat kongres AS semakin yakin bahwa sudah
seharusnya warga negaranya memiliki suatu identitas terpadu, dan jika mungkin ID
tersebut “menempel” didalam tubuh (implantasi), sehingga tidak mungkin untuk
tertinggal atau hilang.
Pada
tahun 2005, kongres AS akhirnya menyetujui dan mengeluarkan undang-undang Kongres
yang mengatur dokumen identitas yang baru. Tepatnya tanggal 11 Mei perintah AS
resmi mengeluarkan REAL ID Act of 2005. Dengan masa peralihan selama 3 tahun,
maka dijadwalkan semua kartu identitas warga AS yang lama akan selesai
diperbaharui dan diganti dengan yang baru, yaitu REAL ID, pada tanggal 11 mei
2008.
Di tahun yang sama
dengan dikeluarkannya undang-undang identitas berbasis implementasi yang diberi
nama VeriChip, sebuah perangkat
perekam data individu seukuran lebih besar sedikit dari beras yang biasanya
ditanamkan diantara area bahu dan siku lengan kanan. REAL ID dan VeriChip berubah nama menjadi PositiveID akan menggantikannya. Namun
karena doa-doa umat percaya di AS, PositiveID kemudian mendapat penolakan luar
biasa dari masyarakat AS. Bahkan 3 negara bagian AS mengeluarkan undang-undang
anti-chipping (penolakan penggunaan microchip pada tubuh). Banyak hamba Tuhan,
gereja, aktivis, seperti Mark Dice, melalui bukunya “The Resistance Manifesto”
memperingatkan Gereja Tuhan bahwa PositiveID berhubungan dengan Tanda Binatang
seperti yang kitab Wahyu tulis. Demikian juga, Gary Wohlscheid, presiden The
Last Days Ministry, menyatakan bahwa dari semua teknologi yang ada, PositiveID
adalah teknologi yang paling berpotensi menjadi tanda Binatang itu. Hasilnya,
sekalipun setelah melewati berbagai tes termasuk telah lulus pengujian Badan
Obat dan Makanan AS (FDA) namun pada tahun 2010 pembuatan dan pemasaran
PositiveID dihentikan hingga waktu yang tidak ditetukan. Bersambung! (BAGAIMANA DENGAN DI INDONESIA?)
0 comments:
Post a Comment